Tuesday, December 6, 2011

Serba-Serbi Bulan Muharram

Serba-Serbi Bulan Muharram



Hendaknya kita merasa cukup dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, dan sejelek-jelek perkara dalam agama adalah amalan ibadah baru yang diada-adakan.

Keutamaan Bulan Muharram

Bulan Muharram termasuk bulan yang disucikan Allah ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mensifati dan menisbatkannya kepada Allah dengan menamainya sebagai “syahrullah al muharram” (bulan Allah Al Muharram). Hal ini menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan ini di sisi Allah ta’ala, karena tidaklah Allah menggandengkan sesuatu dengan nama-Nya kecuali dengan makhluk-Nya yang istimewa.(Lathaiful Ma’arif hal 70, karya Ibnu Rajab Al Hambali)

Al Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah membuka tahun dengan bulan yang suci dan menutupnya dengan bulan yang suci pula. Dan tidaklah ada bulan dalam setahun yang lebih agung di sisi Allah setelah bulan Ramadhan kecuali bulan Muharram.” (Lathaiful Ma’arif hal 67, karya Ibnu Rajab Al Hambali)

Bulan Muharram merupakan bulan yang Allah utamakan. Sisi keutamaannya adalah bahwa berpuasa di bulan ini lebih utama daripada berpuasa di bulan yang lain selain bulan Ramadhan, sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alai wa sallam, “Puasa paling utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Al Muharram.” (HR. Muslim)

Adapun hadits yang menceritakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa apa yang paling utama setelah puasa Ramadhan, kemudian beliau menjawab, “Puasa pada bulan Sya’ban dalam rangka mengagungkan Ramadhan.” Kemudian beliau ditanya lagi tentang sedekah apa yang paling utama, kemudian beliau menjawab,”Sedekah di bulan Ramadhan.” Hadits tersebut adalah hadits yang mungkar begitu pula dengan hadits: “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Sya’ban.”

Imam An Nawawi berkata dalam kitab Al Adzkar,”Makruh hukumnya menamai bulan Muharram dengan Shafar karena hal tersebut merupakan kebiasaan jahiliyah.” (Al Adzkar hal.313, karya An Nawawi)

Ibnu ‘Allan mengatakan,” As Suyuthi berkata: Aku ditanya” Mengapa bulan Muharram dikhususkan dengan sebutan “Syahrullah Al Muharram” sedangkan bulan yang lain tidak. Padahal, ada bulan lain yang menyamai keutamaannya atau bahkan lebih utama darinya semisal Ramadhan?” Maka diantara jawaban yang aku temukan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa penamaan bulan Muharram dengan istilah Al Muharram adalah penamaan yang islami, berbeda dengan bulan selainnya di masa jahiliyah. Karena nama bulan Muharram di masa jahiliyah adalah “Shafar Al Awwal” (bulan Shafar yang pertama). Kemudian bulan setelahnya dinamakan “Shafar Ats Tsani” ( bulan shafar yang kedua). Ketika islam datang, maka Allah menamai bulan Muharram yang tadinya bernama “Shafar Al Awwal” menjadi “Al Muharram”, maka Allah kemudian menggandengkan nama bulan ini dengan namanya (sehingga menjadi: Syahrullah Al Muharram). Ini merupakan faidah yang sangat menarik dan berharga yang aku lihat dalam kitab Al Jamharah” (Al Futuhat Ar Rabaniyyah bi Syarhi Al Adzkaar An Nabawiyyah 7/100, karya Ibnu ‘Allan)

Diantara kekeliruan yang dilakukan banyak orang adalah menyebut bulan ini dengan lafadz “muharram” tanpa ada hurul alif dan lam di awalnya. Penyebutan yang benar adalah dengan lafadz “al muharram” karena orang arab tidaklah menyebut bulan ini kecuali dalam bentuk mu’arraf (mengandung huruf alif dan lam) dan demikian pulalah yang disebutkan dalam berbagai hadits yang mulia dan berbagai syair arab. (Tashwibul Mafaahim hal 75). Tidaklah huruf alif dan lam masuk dalam nama bulan kecuali untuk bulan Muharram.

Bulan Muharram dan Puasa Asyura’

Hari Asyura’ adalah hari kesepuluh di bulan Muharram menurut mayoritas ulama. Hari tersebut merupakan hari yang mulia, diberkahi, agung kedudukannya, dan memiliki keutamaan yang besar. Diantara keutamaan hari Asyura’ adalah:
1. Pada Hari Asyura’ Allah ta’ala Menyelamatkan Musa dan Bani Israil serta Menenggelamkan Fir’aun dan Pengikutnya.
Dari Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma , beliau mengatakan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah dan beliau menjumpai orang Yahudi dalm keadaan berpuasa pada hari Asyura’. Maka beliau bertanya kepada mereka, “Hari apa ini yang kalian berpuasa di dalamnya?” Mereka menjawab, ”Ini merupakan hari yang agung dimana Allah ta’ala menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan pengikutnya. Sehingga Musa berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk syukur, sehingga kami pun berpuasa sebagaimana beliau.” Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Kami lebih berhak terhadap Musa dari kalian.” Beliau pun berpuasa pada hari tersebut dan memerintahkannya.” (HR. Bukhari-Muslim)

2. Puasa di Hari Asyura’ Dapat Menghapus Dosa Setahun yang Lalu.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai puasa di hari Asyura’, “Aku berharap bisa menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim)

3. Puasa di Hari Asyura’ Merupakan Puasa yang Sangat Nabi Inginkan Keutamaannya Dibandingkan Hari yang Lain.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau ditanya tentang puasa di hari Asyura’, maka beliau menjawab, “ Tidaklah aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada satu hari yang sangat beliau inginkan mendapat keutamaannya dibandingkan hari yang lain kecuali hari ini – yaitu hari Asyura’-, dan bulan ini –yaitu Ramadhan-.” (HR. Bukhari-Muslim)

Disunnahkan untuk berpuasa di tanggal sembilan Muharram beserta tanggal sepuluhnya, karena hal ini merupakan keadaan akhir yang dilakukan Nabi ketika melakukan puasa Asyura’.

Diantara perbuatan yang keliru adalah berpuasa pada tanggal sembilan Muharram saja, sedangkan yang diajarkan dalam hadits shahih adalah berpuasa pada tanggal sepuluh saja atau pada tanggal sembilan dan sepuluh. Adapun menambahkannya dengan tanggal sebelas, maka sebagian ulama menilai bahwa hadits yang menyebutkan tanggal sebelas Muharram adalah hadits yang dha’if.

Beberapa Bid’ah Berkaitan Dengan Bulan Muharram

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, ”Tidak ada satu dalil pun yang shahih dalam syariat berkenaan dengan dzikir dan doa awal tahun, yaitu untuk awal hari atau malam memasuki bulan Muharram. Banyak orang yang membuat doa, dzikir, berbagai peringatan, saling mengucapkan selamat, berpuasa di hari pertama awal tahun, menghidupkan malam di hari pertama bulan Muharram dengan sholat, dzikir, doa, berpuasa di akhir tahun dan berbagai hal lainnya yang ternyata tidak ada dalilnya.” (Tas-hihudDu’aa’ hal.107-108, karya syaikh Bakr abu Zaid)

Berkaitan dengan ini, berikut ini adalah diantara bid’ah yang dilakukan di bulan Muharram:

1. Membuat Perayaan Masuknya Tahun Baru Hijriyah dan Saling Mengucapkan Selamat dengan Datangnya Tahun Baru.

Betapa merasa sakitnya seorang muslim ketika melihat jama’ah kaum muslimin, baik individu maupun masyarakatnya merayakan tahun baru hijriyyah sedangkan ketika merayakannya mereka lupa berdasar perintah siapa mereka merayakan perayaan tersebut. Apakah berdasar perintah Allah dalam Kitab-Nya? Ataukah berdasarkan perintah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah mereka melakukan demikian karena meneladani para sahabat radhiallahu ‘anhum? Sesungguhnya diantara kekeliruan yag sangat jelas adalah ketika kaum muslimin lebih memilih melakukan hal-hal yang tidak berdalil baik dari Al Qur’an maupun sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Peringatan Hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagian orang di zaman ini tidaklah mengetahui hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kecuali sebagai memoar yang dibacakan sekali tiap tahun dan diadakanlah berbagai perayaan, khutbah, dan berbagai ceramah keagamaan dalam jangka waktu beberapa hari kemudian selesai dan dilupakan sampai tiba tahun selanjutnya tanpa adanya pengaruh sedikitpun pada perilaku dan amalan mereka. Oleh karena itulah Anda jumpai sebagian mereka tidak berhijrah dari negeri musyrik ke negeri Islam sebagaimana hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebaliknya, banyak di antara mereka yang berpindah dari negeri Islam ke negeri musyrik bukan karena alasan apapun selain hanya untuk mencari kemewahan dan hidup di sana dengan kebebasan hewani -wal iyadzu billah-.

3. Mengkhususkan Hari Pertama di Awal Tahun dengan Berpuasa dengan Niat Membuka Tahun Baru Tersebut dengan Puasa.

Begitu pula mengkhususkan berpuasa selama sehari di hari terakhir tahun tersebut dengan niat sebagai ucapan selamat tinggal untuk tahun tersebut dengan berdalil menggunakan hadits palsu: “Barangsiapa yang berpuasa dihari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama di bulan Muharram, dia telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa, maka Allah akan menjadikannya sebagai penebus dosa baginya selama lima puluh tahun.”

4. Menghidupkan Malam Pertama di Bulan Muharram untuk Melakukan Ibadah.

Syaikh Abu Syamah mengatakan, ”Tidak ada satu pun dalil yang menuntunkan suatu amalan tertentu di malam pertama bulan Muharram. Aku telah mencari di berbagai riwayat baik yang shahih maupun yang dha’if dan dalam hadits-hadits maudhu’, tetapi tidak aku jumpai satu pun yang menyebutkan tentang hal tersebut.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal.239)

5. Mengkhususkan Awal Tahun Hijriyah untuk Melakukan Umrah Sebagaimana yang Dilakukan Sebagian Orang di Bulan Muharram.

6. Membuat Doa Khusus di Hari Pertama Tahun Baru yang Dinamakan dengan Doa Awal Tahun.

Semua hal tadi merupakan amalan yang tidak ada satu dalil shahih pun yang menuntunkan untuk melakukannya. Hendaknya kita merasa cukup dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, dan sejelek-jelek perkara dalam agama adalah amalan ibadah baru yang diada-adakan.

(Disarikan dari kitab “Lathaiful Ma’arif” karya Ibnu Rajab Al Hambali dan “Bida’ wa Akhtha’ Tata’allaqu bil Ayyaam Wa syuhur” karya Ahmad bin Abdullah As Sulami oleh Rizki Amipon Dasa)...........Serba-Serbi Bulan Muharram

Sebar Tauhid Perbaiki Aqidah

Monday, December 5, 2011

Solat Secara Berdiri atau Duduk Dalam Pesawat.

Berdiri dalam solat-solat fardhu yang lima adalah wajib dan kewajipan ini merupakan salah satu dari rukun solat yang tidak diperselisihkan lagi di kalangan mana-mana ulama' sepanjang zaman. Perintah jelas dari Allah Azza waJalla: Peliharalah kamu (kerjakanlah dengan tetap dan sempurna pada waktunya) segala sembahyang fardhu khasnya sembahyang wusta (sembahyang Asar) dan berdirilah kerana Allah (dalam sembahyang kamu) dengan taat dan khusyu'. [Maksud Surah al-Baqarah 2 - 238].
Kewajipan ini berkurang jikalau seseorang itu sukar melaksanakannya kerana sakit atau dalam suasana musafir yang sukar sepertimana yang akan diterangkan berikut ini. Akan tetapi jikalau seseorang itu sengaja solat tanpa berdiri tanpa sebarang keuzuran atau kesukaran maka solatnya itu adalah tidak sah kerana dia dikira sengaja meninggalkan salah satu dari rukun wajib solat. Huraian bab ini dimulakan dengan kaedah solat dalam suasana sakit atau uzur kerana hubung-kaitnya yang kuat dengan kaedah solat dalam suasana musafir.

Kaedah solat bagi kesakitan fizikal tubuh badan.

Seseorang yang sakit dan tidak dapat berdiri maka dibolehkan dia bersolat secara duduk dan jikalau masih tidak boleh duduk maka dibolehkan dia bersolat secara berbaring di lambung kanan dan jikalau masih tidak mampu maka dibolehkan dia bersolat dengan berbaring menelentang. Apajua kesukarannya kewajipan solat tetap wujud atas dirinya dan dia tetap wajib melaksanakannya. Solat yang didirikan secara duduk atau berbaring jikalau benar-benar tidak mampu adalah dikira sah dan tidak perlu diulangi.
Pernah di satu ketika Imran bin Hushain radiallahu-anhu menderita sakit buasir (haemorrhois) yang berat lalu dia bertanya kepada Nabi sallallahu-alaihi-wasallam mengenai cara solatnya maka beliau bersabda: Solatlah dengan berdiri, kalau tidak kuat maka duduklah , kalau (masih) tidak kuat maka berbaringlah dengan posisi miring.[1] Kaedah pendirian solat fardhu seseorang itu adalah selari dengan kadar kesakitan yang dihadapinya. Jikalau dia tidak boleh berdiri maka duduklah kemudian rukuk dan sujud seperti biasa. Cara duduk sebaiknya ialah dengan bersila, sebagaimana keterangan A'isyah radiallahu-anhu selaku isteri Nabi sallallahu-alaihi-wasallam dalam hadith berikut: Aku melihat Nabi sallallahu-alaihi-wasallam solat sambil duduk bersila (mutarobbi')[2] Jikalau boleh berdiri tetapi tidak boleh membongkok maka berdirilah seperti biasa manakala rukuk dan sujud adalah memadai dengan isyarat semampu. Jikalau tidak boleh berdiri dan tidak boleh membongkok maka solatlah dengan duduk, rukuk dan sujud diisyaratkan dengan pergerakkan kepala. Ajar Nabi sallallahu-alaihi-wasallam: Jikalau mampu bersujudlah di atas tanah dan jikalau tidak mampu maka berisyaratlah dengan jelas dan jadikanlah sujud-mu lebih rendah dari rukuk-mu.[3] Jikalau tidak mampu juga maka berbaringlah secara miring iaitu berbaring di lambung kanan dengan mukanya menghadap ke arah qiblat, demikian penerangan Ali bin Abi Talib radiallahu-anhu [4] dan demikian juga merupakan pendapat pilihan Mazhab Shafie, Maliki, Hanbali dan lain-lain.[5] Jikalau masih tidak mampu maka berbaringlah menelentang dengan muka menghadap langit, rukuk dan sujudnya adalah dengan isyarat mata manakala mulut dan hati tetap khusyu' dengan bacaan-bacaan solat. Walauapapun keuzuran yang dihadapi, kewajipan solatnya tetap hadir selagi akal masih ada dan sedar. Solat sebegini tetap sah dan tidak perlu diulangi.[6]
Akan tetapi jikalau sakitnya itu ada minimal dan masih membolehkan solat seperti biasa maka hendaklah dia berusaha berdiri seperti biasa. Anas bin Malik radiallahu-anhu meriwayatkan hadith berikut: Ketika Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam memasuki kota Madinah, kota ini telah diserang wabak dan orang-orang pun menjadi sakit. Lalu beliau masuk ke dalam masjid dan di saat itu orang sedang solat duduk. Melihat itu beliau bersabda: "Solat orang yang duduk pahalanya setengah dari solat orang yang berdiri." Mendengar itu orang-orang pun segera berdiri untuk (meneruskan) solat.[7] Perbandingan antara dua hadith di atas menunjukkan bahawa bersolat sambil duduk atau berbaring itu bagi yang sakit adalah dibenarkan tetapi yang sebaik-baiknya adalah dilaksanakan secara berdiri sesempurna mungkin.[8] Justeru itulah kita dapati Nabi sallallahu-alaihi-wasallam walau di kala usianya yang sudah lanjut tetap berusaha untuk melaksanakan solatnya secara berdiri sekalipun dengan menggunakan tongkat atau bersandar pada dinding atau tiang. Hanya di ketika beberapa hari sebelum kewafatannya barulah beliau bersolat secara duduk. Ummu Qays binti Mihshan radiallahu-anha menerangkan: Bahawa Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam setelah beliau uzur dan kegemukan, beliau membuat sebuah tiang di tempat solatnya untuk dijadikan tempat bersandar.[9]
Keterangan dalam kaedah solat dalam suasana sakit ini sengaja dihuraikan secara panjang lebar kerana tiga sebab - pertama supaya orang yang terlantar di hospital tidak mudah mengabaikan solatnya, kedua - bagi menunjukkan bolehnya bergabung dua atau lebih keuzuran dalam satu suasana, seperti uzur berdiri bagi solat dan uzur menghadap qiblat dan - ketiga kerana ia berkait rapat dengan kaedah solat di atas kenderaan atau pesawat terbang.

Kaedah solat dalam pesawat terbang.

Dibolehkan solat dalam kenderaan samada kereta, teksi, bas ekspres, perahu, kapal selam, kapal terbang dan apa jua medium pengangkutan. Dalil yang membolehkan ialah hadith berikut daripada Abdullah ibnu Umar radiallahu-anhu di mana telah bertanya seorang sahabat kepada Nabi sallallahu-alaihi-wasallam: Bagaimanakah cara saya bersolat dalam perahu ? Nabi sallallahu-alaihi-wasallam menjawab: Bersolatlah di dalamnya dengan berdiri kecuali jika engkau takut tenggelam.[10] Hadith di atas adalah sebagai dalil bolehnya bersolat di atas kenderaan tidak kira apa jenis kenderaan itu kerana pelajaran hadith (illat) bukanlah berkenaan hukum perahu tetapi ialah kebolehan perlaksanaan solat di atas kenderaan.[11]
Jikalau solat secara berdiri di atas kenderaan adalah berbahaya atau menyukarkan maka boleh bersolat secara duduk, diteladani dari perbuatan Nabi sallallahu-alaihi-wasallam dan para sahabat yang pernah bersolat secara duduk di atas kenderaan tunggangan mereka. Kesukaran yang dihadapi itu tidaklah sampai ke tahap darurat tetapi adalah memadai dengan sesuatu yang memberatkan. Hadith berikut menerangkan Nabi sallallahu-alaihi-wasallam dan sahabatnya pernah solat di atas tunggangan mereka bagi mengelak dari terperangkap dalam cuaca hujan lebat - Ya'la bin Murrah radiallahu-anhu menerangkan bahawa para sahabat pernah beserta Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam dalam satu perjalanan lalu sampai ke satu lembah sedang beliau berada di atas kenderaannya; dan langit pula sangat mendung dan di bawahnya sangat basah.
Kemudian datang waktu solat lalu beliau memanggil tukang muadzzinnya lalu ia azan dan iqamah lantas Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam terus maju dengan kenderaannya dan solat berjamaah bersama mereka (para sahabat). Beliau memberi isyarat yang sujudnya lebih rendh dari rukuknya.[12]
Dua hadith di atas jelas membolehkan solat-solat fardhu dilaksanakan di atas kenderaan dan jikalau seseorang itu menghadapi suasana kesukaran maka boleh dilaksanakan secara duduk. Demikianlah teladan yang diriwayatkan dari para sahabat seperti Anas bin Malik, Jabir, Tawus, Zaid dan lain-lain, radiallahu-anhum.[13] Solat sebegini adalah tetap sah jikalau kesukarannya itu adalah benar-benar ikhlas dan ia tidak perlu diulangi. Akan tetapi jikalau tidak menghadapi kesukaran dan dia bersolat secara duduk di atas kenderaan maka solatnya itu adalah tidak sah kerana dianggap sengaja mengabai serta meremehkan rukun kewajipan solat. Demikian menurut ijma' para fuqaha Mazhab Shafie, Maliki, Hanbali dan lain-lain.[14]
Imam an-Nawawi mensyarahkan: Menurut pendapat mazhab kami (Mazhab Shafie), apabila seseorang bersolat fardhu di dalam kapal maka tidak boleh baginya mengerjakan solat dengan duduk selama sanggup berdiri. Diserupakan orang itu dengan keadaan di darat. Demikianlah juga pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, boleh dikerjakan dengan duduk kalau kapal itu sedang bergerak.
Menurut pendapat ulama'-ulama' Mazhab Shafie jika orang yang sedang solat itu sedang kepeningan (mabuk laut) umpamanya maka bolehlah dia mengerjakan solat fardhunya sambil duduk kerana dia di pandang sebagai tidak upaya berdiri. Dan jika angin bertiup dan beralih haluan kapal lalu beralih juga mukanya dari arah qiblat wajiblah dia memutarkan badannya ke arah qiblat itu dan terus mengerjakan solat.[15]
Kaedah menunaikan solat fardhu di atas pesawat terbang adalah sama dengan kaedah solat di darat. Hanya apabila timbul kesukaran maka kesempurnaan gerak laku solat itu berkurangan selari dengan kadar kesukaran yang dihadapi. Ia mempunyai kesamaan dengan kaedah solat orang yang sakit dalam beberapa keadaan dan berbeza pula dalam beberapa keadaan lain, iaitu:
1. Hendaklah berusaha sekuat mampu bagi mencari tempat untuk bersolat dengan sempurna. Bertanyalah kepada anak kapal akan ruang sebaiknya untuk bersolat dan jikalau ruang itu digunakan oleh mereka dalam kesibukan kerja-kerja kabin maka tunggulah hingga kerja mereka berkurang atau selesai. Satu alternatif lain ialah memilih penerbangan dengan syarikat Muslim kerana anak-anak kapalnya akan lebih memahami kehendak kita dan berusaha menolong berbanding dengan syarikat penerbangan non muslim.
2. Jikalau sedang solat dan pesawat bergoyang sedikit maka dibolehkan berpegang atau bersandar sebentar kepada dinding atau kerusi bagi mengimbangkan diri, mengingatkan kepada sunnah Nabi sallallahu-alaihi-wasallam yang solat dengan bersandarkan tiang di kala umurnya sudah lanjut.
3. Jikalau pesawat banyak bergoyang sehingga membimbangkan maka dibolehkan solat duduk dengan rukuk secara membongkok dan sujudnya seperti biasa hingga ke lantai pesawat. Jikalau sedang bersolat secara berdiri dan dipertengahannya pesawat mula bergoyang maka teruslah solat dengan duduk sehingga habis tanpa perlu dimulakan semula.
4. Jikalau goyangan pesawat adalah keterlaluan hingga terbitnya tanda 'Pasang tali pinggang keselamatan' atau 'Fasten seat belt' maka sebaiknya ialah duduk dahulu dan bersolatlah kemudian apabila suasana kembali tenang. Memaksa diri beribadat sehingga mendatangkan kecederaan bukanlah sesuatu yang dicenderungi agama malah akan dipertangunggkan jikalau kecederaannya itu menyebabkan dia tidak dapat meneruskan ibadah yang lain, meninggalkan amanah tanggungan dan menyusahkan pula orang lain. Jikalau goyangan pesawat berlanjutan sehingga dijangka akan melewati waktu solat (contohnya solat subuh) maka laksanakanlah ia secara duduk di kerusi sendiri.
5. Jikalau tiada tempat untuk solat maka tetaplah bersolat ditempat duduk sendiri dan solatlah dengan sujudnya ditunduk lebih rendah dari rukuk. Perintah menghadap qiblat tetap hadir sebagaimana yang diterangkan sebelum ini.
Jikalau terdapat dua pilihan, satunya ialah boleh menghadap ke arah qiblat tetapi solatnya harus secara duduk manakala yang kedua ialah boleh solat secara sempurna tetapi tidak dapat menghadap qiblat melainkan di takbir yang pertama maka hendaklah dia mengutamakan solat menghadap qiblat sekalipun secara duduk kerana solat secara duduk sememangnya dibolehkan oleh nas yang jelas di kala kesukaran manakala solat tanpa menghadap qiblat dengan sempurna adalah satu kebolehan yang diijtihadkan. Sila ulangkaji dan bandingkan huraian antara bab ini dengan bab sebelum.
Jikalau terdapat dua pilihan di mana kedua-duanya boleh didirikan solat secara sempurna, pilihan pertama ialah solat di atas pesawat manakala pilihan kedua ialah solat di atas darat maka kedua-duanya mempunyai keutamaan yang sama tarafnya. Dalilnya ialah riwayat berikut: Abdullah bin Abi Utbah radiallahu-anhu menerangkan - Aku pernah menyertai Jabir bin Abdillah, Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah radiallahu-anhu dalam satu kapal. Maka mereka bersolat secara berdiri berjamaah, yang seorang mengimami yang lain padahal mereka sanggup mendarat di pantai.[16] Akan tetapi hendaklah diutamakan suasana yang memungkinkan solat itu didirikan di awal waktu mengingatkan keafdalannya dan tambahan lagi mungkin sahaja solat yang tangguhkan itu akan terhalang oleh sesuatu yang tidak dijangka.
Sekali lagi dinyatakan bahawa seseorang itu wajib berlaku benar dalam kaedah penunaian solatnya samada berdiri atau duduk, samada di ruang terbuka atau di kerusi asal. Tidak sah solat orang yang sengaja hendak solat secara duduk atau sengaja enggan mencari suasana yang memungkinkan solatnya menjadi sempurna. Jikalau semua alternatif dan usaha telah dilakukan maka hendaklah dia tetap melaksanakan solatnya itu dalam cara yang termampu dan ia tetap dikira sah tanpa perlu diulangi atau diqadha.

Kesimpulan

1. Solat di atas pesawat terbang atau apa-apa jua medium pengangkutan adalah dibolehkan.
2. Perlaksanaan solat di atas pesawat adalah tetap wajib seperti kaedah yang biasa kecuali jikalau menghadapi kesukaran maka dibolehkan duduk dan sebagainya selari dengan kadar kesukaran yang dihadapi.
3. Solat sebegini adalah sah dan tidak perlu diulangi.
4. Sementara itu tidak sah solat secara duduk jikalau tiada kesulitan untuk melaksanakannya secara berdiri. Malah dia dikira berdosa kerana sengaja meremehkan perintah agama.

Wednesday, November 2, 2011

Haji Tanpa Mahram

المسألة الرابعة: سفر المرأة إلي الحج بلا محرم. تنازع العلماء في هذه المسألة هل هو شرط في الوجوب أم لا؟
بمعني إذا لم تجد محرما هل يسقط عنها الوجوب أو لا يسقط؟ تنازع العلماء علي قولين:

Syaikh Dr Abdul Aziz bin Rais ar Rais, “Tentang wanita mengadakan perjalanan jauh alias dalam rangka pergi haji tanpa mahram, para ulama bersilang pendapat tentang masalah ini apakah mahram bagi wanita adalah syarat wajib haji ataukah bukan? Artinya jika seorang muslimah tidak menjumpai mahram apakah kewajiban pergi haji itu gugur darinya ataukah tidak?

Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini terbagi menjadi dua pendapat:

القول الأول: أن سفر المرأة بمحرم واجب وهذا قول أبي حنيفة و أحمد في رواية.

Pendapat pertama, seorang wanita itu wajib bersafar ketika hendak pergi haji bersama mahram. Inilah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu pendapat beliau.

وأقوي ما استدل به هؤلاء ما ثبت في صحيحين من حديث ابن عباس أن النبي- صلي الله عليه وعلي آله وصحبه وسلم- قال: لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم. فقال رجل: يا رسول الله إن امرأتي خرجت حاجة وإني اكتتبت في غزوة كذا وكذا قال: انطلق فحج مع امرأتك.

Dalil mereka yang paling kuat adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi bersabda, “Wanita itu tidak boleh bepergian jauh melainkan bersama mahram”.

Ada seorang laki-laki yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku hendak pergi haji sedangkan aku sudah tercatat untuk mengikuti perang ini. Nabi bersabda, “Pergilah haji bersama isterimu”.

قالوا: هذا صريح في الحج فدل هذا علي أنه شرط لوجوب الحج بنسبة للمرأة.

Mereka mengatakan bahwa hadis di atas merupakan dalil tegas dalam masalah ini. Hadits di atas menunjukkan bahwa adanya mahram adalah syarat wajibnya haji bagi seorang muslimah.

القول الثاني أن سفر المرأة بلا محرم جائز وليس محرم شرطا للجوب. وهذا قول مالك والشافعي وأحمد في رواية وهو اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية.

Pendapat kedua, safarnya seorang muslimah dalam rangka haji tanpa mahram itu diperbolehkan sehingga adanya mahram bukanlah syarat wajibnya haji bagi muslimah.

Ini adalah pendapat Malik, Syafii, Ahmad dalam salah satu pendapat beliau dan inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

وأقوي ما استدل به هؤلاء ما ثبت في البخاري عن عدي بن حاتم أن النبي-صلى الله عليه و سلم- قال: لإن طالت بك الحياة لترين المرأة تسافر من حيرة إلي أن تطوف بالبيت لا تخشي إلا الله والذئب علي غنمها.

Dalil paling kuat yang mereka pergunakan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Adi bin Hatim, Nabi bersabda kepada Adi, “Jika engkau berumur panjang maka engkau pasti akan melihat seorang perempuan yang mengadakan perjalanan jauh dari Hirah untuk bisa bertawaf mengelilingi Ka’bah tanpa rasa takut kecuali hanya kepada Allah dan khawatir ada serigala yang memangsa kambingnya”.

قالوا: هذا إخبار علي وجه المدح والثناء. وما كان كذلك، فيدل علي الجواز.

Mereka mengatakan bahwa berita yang Nabi sampaikan dalam hadits ini memuat unsur pujian dan sanjungan. Berita yang Nabi sampaikan yang mengandung unsur pujian dan sanjungan itu menunjukkan bolehnya melakukan apa yang Nabi ceritakan.

وذلك أن ما يخبر به له أحوال ثلاثة: إما أن يكون مقرونا بالذم وهذا يدل علي حرمة.

Berita yang Nabi ceritakan itu terbagi tiga macam:

Pertama, cerita yang mengandung unsur celaan, ini menunjukkan haramnya isi cerita yang Nabi sampaikan.

أو أن يكون مقرونا بالمدح فيدل علي أنه ليس محرما. إذ لو كان محرما لما اقترن بالمدح.

Kedua, cerita yang diiringi pujian. Cerita semisal ini menunjukkan tidak haramnya isi cerita yang Nabi sampaikan karena seandainya hal itu hukumnya haram tentu saja Nabi tidak akan mengiringi ceritanya dengan pujian.

وإما أن لا يقترن لا بمدح ولا ذم فهذا لا يستفاد منه لا إباحة لا حرمة.

Ketiga, cerita yang tidak memuat unsur pujian atau pun celaan. Tidak ada simpulan hukum apapun yang bisa kita ambil dari cerita semacam ini, baik hukum mubah atau pun hukum haram.

وحديث عدي هذا مقرون بالمدح والثناء.

Hadits yang dibawakan oleh Adi di atas tergolong cerita Nabi yang memuat unsur pujian dan sanjungan.

واستدلوا بأن هذا هو ثابت عن صحابة رسول الله-صلى الله عليه و سلم- فقد ثبت عند ابن حزم في المحلي عن ابن عمر أنه اعتق مولية له يعني إماء أعتقهن فلما اعتقهن صرن أجانب بنسبة له. قال: فحج بهن.
إذا حج بهن بلا محرم.

Mereka juga beralasan bahwa inilah yang menjadi pendapat para sahabat Rasulullah.

Dalam kitab al Muhalla karya Ibnu Hazm terdapat riwayat dari Ibnu Umar bahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya. Setelah dimerdekakan, tentu saja para wanita tersebut tidak lagi punya hubungan apapun dengan Ibnu Umar. Ternyata Ibnu Umar pergi haji bareng dengan mereka. Jadi para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram.

واستدلوا بما ثبت عن عائشة عند البيهقي وغيره أنه لما ذكر لها المحرمية للمرأة قالت: هل تجد كل امرأة محرما؟

Mereka juga beralasan dengan riwayat yang valid dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Baihaqi dll tatkala ada orang yang menyampaikan kepada Aisyah bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi muslimah, beliau berkomentar, “Apakah semua wanita memiliki mahram untuk pergi haji?!”

وقبل الترجيح، أجمع العلماء علي أن المرأة لا تسافر بلا محرم في سفر مستحب ولا مباح. وإنما الخلاف في سفر واجب.
ذكر الإجماع البغوي وأقره ابن حجر. وذكره النووي وغير واحد من أهل العلم.
Sebelum kita memilih pendapat yang terkuat, perlu diketahui bahwa para ulama itu bersepakat bahwa wanita itu tidak boleh bepergian jauh tanpa mahram manakala hukum bepergian jauh tersebut adalah mustahab atau malah mubah. Yang diperselisihkan oleh para ulama adalah safar yang hukumnya wajib.

Nukilan ijma ini disampaikan oleh al Baghawi dan disetujui oleh Ibnu Hajar. Juga disebutkan oleh an Nawawi dan ulama lainnya.

وشذ بعض الشافعية كالكرابيسي وجوز سفر المرأة بلا محرم في أسفار غير واجبة. هذا مخالف لإجماع أهل العلم.

Memang ada sebagian ulama mazhab Syafii semisal al Karabisi yang memiliki pendapat nyleneh dengan membolehkan wanita bepergian jauh tanpa mahram dalam safar yang hukumnya tidak wajib. Pendapat ini adalah pendapat yang menyelisihi ijma para ulama.

إذا الخلاف في السفر بلا محرم في سفر واجب. ذكر البغوي كإسلام المرأة في دار الكفر سافر إلي دار الإسلام وتسافر إلي دار الإسلام لتبعد عن هؤلاء الكفار.

Jadi hal yang diperselisihkan oleh para ulama adalah safar tanpa mahram dalam safar wajib contohnya sebagaimana yang disebutkan oleh al Baghawi adalah wanita yang masuk Islam di negara kafir lalu mengadakan perjalanan jauh menuju negara muslim untuk menjauhi lingkungan orang-orang kafir.

إذا تبين هذا، فالأظهر-والله أعلم- أن اشتراط المحرمية في الحج فيه نظر. وأنه يصح للمرأة أن تسافر في الحج بلا محرم إذا كانت رفقة آمنة. والمراد هنا بالحج الواجب لا مستحب.

Setelah poin di atas dimengerti dengan baik, pendapat yang paling kuat adalah mempersyaratkan mahram bagi muslimah yang hendak pergi haji itu pendapat yang kurang tepat. Yang tepat, boleh bagi muslimah untuk safar dalam rangka haji tanpa mahram jika dia mendapatkan rasa aman bersama rombongannya. Namun ingat yang dimaksud dengan haji di sini adalah haji yang wajib [baca: haji pertama], bukan haji yang sunnah[baca: haji kedua dst].

فإن قيل: بماذا يجاب علي حديث ابن عباس المتقدم؟

Jika ada yang bertanya, jawaban apa yang anda berikan untuk hadits dari Ibnu Abbas di atas?

فيقال: الجواب عليه إن ذاك الحج ليس حجا واجبا، إذ الحج إنما فرض في السنة العاشرة التي حج فيها النبي-صلى الله عليه و سلم- كما قرر ذلك وبسطه شيخ الإسلام في مجموع الفتاوي وابن القيم في زاد المعاد.

Jawabannya adalah haji yang dilakukan oleh sang wanita bersama suaminya dalam hadis dari Ibnu Abbas di atas bukanlah haji wajib. Karena haji baru diwajibkan pada tahun 10 H. Itulah tahun Nabi pergi haji. Demikian yang ditegaskan dan dijelaskan panjang lebar oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa dan Ibnul Qayyim dalam Zadul Maad.

فإنه في السنة العاشرة صار الحج في شهر ذي الحجة. إذ كان عند المشركين تأخير الحج، كل سنتين بشهر. يجعل في كل سنتين في شهر المحرم وبعد ذلك في كل سنتين في شهر صفر. فلما وافق السنة العاشرة عاد كهيئته كما بينه النبي-صلى الله عليه و سلم- فوافق الحج شهر ذي الحجة. هي التي فرضت فيها الحج.

Pada tahun 10 H haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah. Orang-orang musyrik dahulu setiap dua tahun sekali memundurkan satu bulan pelaksanaan ibadah haji. Setelah dua tahun haji di bulan Dzulhijjah, selama dua tahun haji dilakukan di bulan Muharram. Setelah itu selama dua tahun, haji dilakukan pada bulan Shafar dst.

Pada tahun 10 H, pelaksanaan haji bertepatan dengan bulan Dzulhijjah dan sejak saat ini pelaksanaan ibadah haji kembali ke relnya semula sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi. Pada tahun 10 H tersebut pelaksanaan ibadah haji bertepatan dengan bulan Dzulhijjah. Itulah tahun diwajibkannya ibadah haji.

إذا تلك السنة لم يحج النبي-صلى الله عليه و سلم- وإنما خرجت المرأة حاجة. فقد خرج النبي-صلى الله عليه و سلم- في الغزو. فإذا ذاك الحج ليست حجا واجبا وبحثنا في الحج الواجب لا في الحج المستحب كما تقدم بيان تحرير محل النزاع.
Jika demikian, di tahun keberangkatan haji sang isteri berserta suaminya, Nabi tidak pergi haji. Hanya perempuan tersebut yang pergi haji, tanpa Nabi. Sedangkan Nabi sendiri malah berangkat berperang.

Jadi haji yang ada dalam hadis dari Ibnu Abbas di atas bukanlah haji wajib sedangkan yang kita bahas adalah haji wajib, bukan haji yang hukumnya sunnah sebagaimana yang telah disampaikan di atas saat kita mendudukkan haji jenis apakah yang diperselisihkan ulama”.

Friday, October 28, 2011

Mengenal Rasullulah S.A.W.

Para pembaca semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa merahmati kita semua, ketahuilah bahwa cinta kepada Nabi Muhammad saw adalah sebuah kewajiban bagi setiap pribadi muslim. Seseorang bisa dipertanyakan akan keislamannya, ketika tidak memiliki kecintaan kepada beliau . Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:
”Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (Al-Ahzab: 6)

Rasulullah saw bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak beriman salah seorang dari kalian hingga menjadikan aku orang yang paling dicintainya, melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya.” (HR al-Bukhari no. 15 & Muslim no. 44)

Kecintaan kepada Rasulullah saw itu tidak akan terwujud kecuali dengan mengenal beliau secara lebih mendalam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengenali beliau dan perjalanan hidup beliau .

Mengenal Pribadi Rasulullah saw.

Beliau adalah Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib (nama aslinya Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya ‘Amr) bin ‘Abdu Manaf (nama aslinya al-Mughirah) bin Qushay (nama aslinya Zaid) bin Kilab (nama aslinya Hakim/’Urwah) bin Murrah bin Ka’ab bin Lu`ay bin Ghalib bin Fihr (dialah yang dijuluki dengan Quraisy) bin Malik bin an Nadhr (nama aslinya Qais, jumhur ahli nasab mengatakan dialah Quraisy) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama aslinya ‘Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ’Adnan. (As-Siyar 26/29-32, al-Bidayah 2/657, Zadul Ma’ad hal.70, ar-Rahiqul Makhtum hal.48, Jawami’ as-Sirah hal.2)
‘Adnan termasuk anak cucu Nabi ‘Ismail bin ‘Ibrahim ‘alaihimas salaam menurut kesepakatan ulama (Fathul Bari 7/213, al-Bidayah 2/590, Zadul Ma’ad 1/70-71, as-Siyar 26/29, Mukhtashar Sirah hal.36)

Sedangkan ibu beliau adalah Aminah bintu Wahb bin ‘Abdu manaf bin Zuhrah bin Kilab (ar-Rahiqul Makhtum hal.52, Raudhatul Anwar).

Rasulullah s.a.w lahir di pemukiman bani Hasyim di kota Mekah, di pagi Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal di tahun gajah, atau bertepatan dengan tanggal 22 April 571 M. Selama 53 tahun beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tinggal di sana, 40 tahun sebelum kenabian & 13 tahun setelah kenabian, lalu hijrah ke Madinah menetap dan melanjutkan dakwah tauhid selama 10 tahun, hingga wafat pada waktu dhuha Hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriyah dalam usia 63 tahun atau 63 tahun 4 hari. (Al-Bidayah 2/662-664, 3/7 & 5/248-256, as-Siyar 26/33-37 & 27/471-476, ar-Rahiqul Makhtum hal. 54-55 & 468-469, Zadul Ma’ad hal.74-75,469, Raudhatul Anwar, Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah hal.99.)

Pribadi beliau dikenal dengan kejujuran, amanah, menjaga kehormatan dan dengan berbagai budi pekerti luhur lainnya, sejak sebelum beliau diangkat menjadi nabi dan rasul. Hingga beliau mendapat julukan al-Amin yang artinya bisa dipercaya. Adapun setelah Islam kemuliaan sifat atau pribadi beliau semakin tinggi sebagaimana yang dikabarkan oleh Aisyah. Dari Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir, dia berkata, “Aku mendatangi Aisyah maka aku berkata, ”Wahai ummul mukminin kabarkanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah,” maka beliau berkata, ”Adalah akhlak beliau Al-Qur`an, tidakkah kau membaca Al-Qur`an?” (HR. Ahmad)

Rumah Tangga Rasulullah s.a.w

Beliau memiliki 11 orang istri.Mereka inilah yang dijuluki Ummahatul Mukminin (ibu orang-orang yang beriman).Mereka adalah:
1. Khadijah bintu Khuwailid, dari beliau lah Rasulullah saw memiliki keturunan (kecuali Ibrahim).
2. Aisyah bintu Abu Bakr, shiddiqah bintu shiddiq.
3. Saudah bintu Zam’ah al-Amiriyyah.
4. Hafshah bintu ‘Umar bin al-Khaththab.
5. Zainab bintu Khuzaimah al-Hilaliyyah Ummul Masakin.
6. Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah al-Makhzumiyyah.
7. Zainab bintu Jahsyin al-Asadiyyah.
8. Juwairiyyah bintu al-Harits al-Khuza’iyyah.
9.Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan.
10.Shafiyyah bintu Huyay bin Akhthab.
11.Maimunah bintu al-Harits al-Hilaliyyah.

Khadijah bintu Khuwailid dan Zainab bintu Khuzaimah keduanya meninggal semasa hidup Rasulullah saw. Adapun yang lainnya wafat sepeninggal beliau . (Al-Bidayah 5/305-313, Zadul Ma’ad hal.102-110, ar-Rahiqul Makhtum hal.473-474).

Putra-putri Beliau .

Al-Imam Ibnu Katsir menegaskan, “Tidak ada khilaf bahwa seluruh putra-putri beliau dari Khadijah bintu Khuwailid, kecuali Ibrahim dari Mariyah bintu Syam’un al-Qibthiyyah” (Al-Bidayah 5/319).
Mereka adalah:
1. Al-Qasim (putra pertama Rasulullah saw, dan dengannya beliau ber-kun-yah (Abul Qasim). Dia wafat dalam usia 2 tahun.
2. Zainab, putri Rasulullah saw yang terbesar.
3. Ruqayyah, dinikahkan oleh Rasulullah saw dengan shahabat Utsman bin Affan.
4. Ummu Kultsum, dinikahkan oleh Rasulullah saw dengan shahabat Utsman bin Affan setelah wafatnya Ruqayyah (sehingga Utsman dijuluki Dzun Nurain, pemilik dua cahaya).
5. Fathimah, putri beliau yang terkecil dan paling beliau cintai. Dia adalah pemimpin wanita penghuni surga (jannah), istri shahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib, ibunda dua pemimpin pemuda penghuni surga (jannah) al-Hasan dan al-Husain.
6. Abdullah, putra terakhir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Khadijah, meninggal ketika kecil.
7. Ibrahim, lahir di Madinah dari budak beliau Mariyah bintu Syam’un al-Qibthiyyah, meninggal ketika kecil.

Keutamaan-keutamaan Beliau .

1. Sayyidun Naas (Pemimpin manusia) dan Sayyidul Mursalin (Pemimpin para Rasul), beliau n bersabda, “Saya pemimpin manusia pada hari kiamat.” HR. al-Bukhari no. 4712 & Muslim no. 194
2. Khataman Nabiyyin (Penutup para Nabi), Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi, dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab:40)
3. Pemberi syafaat pada hari kiamat dengan izin Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
4. Manusia pertama yang mengetuk pintu surga (jannah) sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Anas bin Malik dan umatnya adalah umat yang pertama masuk ke surga (jannah), sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah.
Masih banyak lagi keutamaan-keutamaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad karya asy-Syaikh al-Utsaimin hal.79-81, Syarhu al-Aqidah al-Wasithiyyah karya asy-Syaikh Shalih al Fauzan hal.106-109, juga dalam as-Siyar karya al-Imam adz-Dzahabi 27/448-452.

Mengenali Risalah Beliau .

Beliau diangkat menjadi nabi dalam usia 40 tahun dengan turunnya surat Al-Alaq: 1-5.
Beliau diangkat menjadi rasul dengan turunnya surat Al-Muddatstsir: 1-7 dengan suatu misi memperingatkan manusia dari syirik dan menyeru kepada tauhid. (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah 122-123)
Beliau adalah penutup para nabi yang diutus oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa untuk seluruh manusia bahkan jin, berdakwah selama 23 tahun yang inti risalah beliau dan juga risalah para rasul ’alaihimus salaam adalah tauhid. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu” (An-Nahl: 36)

Awal dakwah beliau adalah tauhid (sebagaimana kisah beliau di bukit Shafa) dan akhir dakwah beliau juga tauhid, bahkan wasiat terakhir beliau menjelang wafat adalah tentang tauhid. Dari Aisyah dan Ibnu ‘Abbas, Rasul ‘alaihi wa sallam bersabda di akhir hayat beliau, “Laknat Allah atas yahudi dan nashara yang menjadikan kubur-kubur nabi mereka masjid (tempat beribadah-pen).” HR. al-Bukhari 1/118-119, Muslim 2/67. Untuk lebih rincinya silakan lihat Fiqhus Shirah hal 77-78, ar-Rahiqul Makhtum hal.78-79 & hal.468-469, as-Siyar 27/463-464.

Risalah Islam yang dibawa oleh Beliau ‘alaihi wa sallam telah sempurna, tidak perlu penambahan ataupun pengurangan, beliau telah menunaikan amanah, telah menyampaikan risalah, telah menasihati umat, tidaklah ada sebuah kebaikan dan keburukan melainkan beliau telah memberi penjelasan dan memperingatkan umat darinya. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)

Menunaikan Hak-hak Beliau Rasul ‘alaihi wa sallam

Di antara hak-hak beliau ialah kita menaati setiap perintah-perintahnya, membenarkan dan meyakini berita-berita yang beliau kabarkan (dari peristiwa-peristiwa dahulu, pada saat ini atau dari peristiwa-peristiwa yang akan datang), menjauhi segala yang telah dilarang oleh beliau, dan tidaklah beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa kecuali dengan cara yang telah dituntunkan oleh beliau. (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah hal.75)

Begitu pula memuliakan Ahlul Bait beliau dan termasuk di dalamnya istri-istri beliau, mereka adalah istri nabi di dunia dan di akhirat, Ummahatul Mukminin (ibunya orang-orang yang beriman), maka mencela dan melaknat mereka adalah kekufuran. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, ”Dan istri-istrinya (Rasul) adalah ibu-ibu mereka (orang-orang beriman).” (Al-Ahzab: 6)

Dan yang pentingnya adalah memuliakan para shahabat beliau, tidak mencela mereka, ridha kepada mereka semua. Melalui mereka lah agama ini sampai kepada kita, mereka menjadi saksi ketika turunnya wahyu, murid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Berkeyakinan, berpemahaman, beribadah, beramal, dan bermuamalah di bawah kontrol kekasih mereka, Muhammad rasul ‘alaihi wa sallam. Maka mencela mereka, tidak ridha kepada mereka, mendustakan mereka adalah kefasikan dan kekufuran. Bahkan termasuk mendustakan Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya yang memuji dan merekomendasi mereka. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, ”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)

Rasulullah ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Janganlah kalian mencela shahabatku, demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya jika seandainya ada di antara kalian yang berinfak emas sebesar gunung uhud maka tidak akan mampu menyamai (infak mereka) meski satu mud (cakupan tangan-pen) atau setengahnya” (HR al Bukhari no.3673 & Muslim no.2540. Untuk lebih rincinya lihat Syarh Lumatul I’tiqad hal. 89-91 dan Fathu Rabbil Bariyyah hal.7.)

Demikianlah saudara pembaca semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa merahmati kita semua, dari penjelasan di atas dapatlah kita ambil pelajaran, bahwa pribadi beliau adalah pribadi yang agung, mulia, terbaik dari segala sisinya. Mudah-mudahan dengan itu Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberikan kemudahan bagi kita semua untuk semakin mencintai beliau dan memenuhi hak-hak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Amin.

Wallahu a’lamu bish shawab.

Thursday, May 5, 2011

Hati Kosong

Mati Hati dan doa Kosong - ungkapan dari salaf yang

Hal ini melaporkan bahawa Ibrahim b. Adham (d162H) - Allâh kasihanilah dia - sekali melewati pasar Basrah. Orang-orang berkumpul di sekelilingnya dan bertanya:
Wahai Abu Ishaq, Allah Ta'ala mengatakan dalam Kitab. 'Panggil aku, aku akan menjawab doa-doa anda, tetapi kami telah menyeru kepada-Nya untuk masa yang lama dan Ia tidak menjawab doa-doa kita. [Ibrahim] menjawab, "Wahai orang Basrah, hati anda telah meninggal sehubungan dengan hal-hal sepuluh:
Pertama, anda tahu Allâh tetapi anda tidak memberi-Nya hak-Nya;
Kedua, anda telah membaca Arahan Allâh tapi anda tidak bertindak dengan itu;
Ketiga, anda mendakwa mencintai Allâh's Messenger - damai dan berkat Allâh saw - tetapi anda meninggalkan Sunnah-Nya;
Keempat, anda mengaku menjadi musuh kepada Setan tetapi anda sesuai dengan [cara nya];
Kelima, anda berkata anda mencintai syurga tetapi anda tidak bekerja untuk itu;
Keenam, kamu bilang kamu takut api neraka tetapi anda meletakkan diri lebih dekat untuk itu [dengan berbuat dosa];
Ketujuh, anda katakan kematian itu adalah benar, tetapi anda tidak mempersiapkan diri untuk itu;
Kelapan, anda dirimu sibuk dengan kesalahan orang lain dan mengabaikan anda sendiri;
Kesembilan, anda mengambil nikmat Tuhanmu tetapi tidak berterima kasih untuk mereka, dan
Kesepuluh, anda menanam mati anda, tetapi tidak mengambil pelajaran dari mereka. "

Wednesday, April 27, 2011

Malam ini balik ke Kluang insya Allah. sebelum berangkat, saya melayari laman-laman web untuk membaca tulisan yang dipaparkan. antaranya

Penutup Kitab Min Ushul Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah

http://akidah-yang-benar-1.blogspot.com/



Dengar radio Islam online....sila klik sini

Semoga bermanfaat.

*************************************************
Rasulullah Saw. bersabda;
"Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuatnya faham tentang agamanya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
*************************************************
Pada Hari Jumaat hari Arafah, diturunkan kepada Nabi Saw. Firman Allah Ta'ala;
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu." (QS.al-Ma'idah:3)

Tuesday, April 26, 2011

UKHUWWAH YANG TERKOYAK

Tidak diragukan lagi bahwa kita tengah berada di suatu zaman di mana nilai-nilai ukhuwwah (persaudaraan) yang dibangun karena Allah mulai pudar. Orang-orang tidak saling berhubungan melainkan karena pertimbangan materi belaka. Mereka saling mencintai dan membenci karena dunia. Tidaklah salah seorang dari mereka mendekati yang lain dengan wajah yang manis kecuali karena ada maunya. Tatkala kepentingan itu tidak tercapai, maka senyuman pun berubah menjadi raut masam.
Hal ini bukanlah termasuk gaya hidup as-Salafus Shalih. Mereka sungguh jauh dari model hidup seperti ini. Tidaklah mereka mencintai dan bersahabat dengan seseorang melainkan karena Allah.

Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
لاَتَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوْا

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman dan tidaklah kalian beriman sampai kalian saling mencintai…”
[HR Muslim (54), Abu Dawud (5193), dan at-Tirmidzi (2689)]

Kita sama-sama mengetahui bahwa defininsi ibadah adalah sebuah nama yang mencakup semua perkara yang yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang zhahir maupun batin. Diantara perkataan dan perbuatan yang dicintai dan diridhai oleh Allah adalah menunaikan hak-hak ukhuwwah. Hak seorang muslim atas saudaranya yang lain. Terlebih lagi jika keduanya adalah sahabat karib. Bukan hanya sekedar saudara sesama muslim. Mereka bertemu dan berpisah karena Allah, sama-sama berjalan di atas ketaatan kepada Allah, saling tolong menolong dalam kebaikan, sehingga semakin kuatlah hak-hak ukhuwwah yang ada diantara keduanya. Hak-hak ini hendaknya tetap diperhatikan oleh setiap muslim, baik tua, muda, lelaki, maupun wanita.

Sungguh, Allah benar-benar telah memberi kenikmatan kepada kaum muslimin dengan menjadikan mereka bersaudara. Allah berfirman:
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ

Lalu menjadilah kalian karena nikmat Allôh orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allôh menyelamatkan kalian darinya.” (Âli ‘Imrân: 103)

Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan nikmat yang telah Ia berikan kepada hamba-hamba-Nya, yaitu menyatukan hati-hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat yang sangat agung ini, yaitu ukhuwwah, semestinya hanya dilandasi karena Allah semata.

Seorang muslim harus menyadari bahwa persaudaraan dan rasa cinta diantara sesama kaum mukminin yang dilandasi karena Allah merupakan suatu nimat yang sangat agung dari Allah. Maka hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.
Dalam menafsirkan firman Allahبِنِعْمَتِهِ (karena nikmat-Nya), sebagian ulama berkata, “Ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya cinta kasih diantara kaum mukminin hanyalah disebabkan karunia Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾

"Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)

Maka yang menjadikan hati-hati manusia bersatu dalam ibadah kepada Allah, sekaligus saling mencintai, padahal mereka berasal dari berbagai penjuru dunia, dari ras yang beraneka ragam, serta dari martabat yang bertingkat-tingkat, hanyalah Allah semata, dengan nikmat-Nya yang tiada bandingnya. Ini adalah nikmat yang selayaknya seorang muslim bergembira dengannya. Allah berfirman:
﴿قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ﴾

“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya’, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (Yunus: 58)

‘Abdah bin Abî Lubâbah berkata: “Aku bertemu dengan Mujâhid. Lalu dia menjabat tanganku, seraya berkata: ‘Jika dua orang yang saling mencintai karena Allah bertemu, lalu salah satunya mengambil tangan kawannya sambil tersenyum kepadanya, maka gugurlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan.”
‘Abdah melanjutkan: “Aku pun berkata: ‘Ini adalah perkara yang mudah.’ Mujahid lantas menegurku, seraya berkata: “Janganlah kau berkata demikian, karena Allah berfirman:
﴿لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِيْ الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْت بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ﴾

“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allahlah yang telah mempersatukan hati mereka” (Al-Anfal: 63)

Akhirnya ‘Abdah berkata: “Maka aku pun mengakui bahwa dia memiliki pemahaman yang lebih dibandingkan aku” [Tafsir Ath-Thabari (X/36) dan Hilyatul Auliyâ` (III/297). Diriwayatkan juga dari Abu Lubâbah, dari Mujâhid, dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasūlullâh Shallâllâhuu ‘alaihi wa Sallam dengan sanad yang marfū’, dalam Târîkh Wâsith, pada biografi ‘Abdullâh bin Sufyân Al-Wâsithi (I/178), dengan kisah yang sama, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albânî karena syawâhid-nya. Lihat: as-Shahîhah (V/10) hadits (2004).]

Smg bermanfaat utk kebaikan di dunia & akhirat.


Bubur Asyura budaya Melayu yang tidak bercanggah dengan Islam

Ada orang Tanya, adakah bubur asyura itu ada dalam ajaran Islam? Secara mudahnya, bubur asyura adalah budaya Melayu yang tidak kaitan langsung dengan ajaran Islam. Tetapi membuat bubur asyura itu tidak bercanggah dengan ajaran Islam.

Sebenarnya bubur asyura diambil sempena haru asyura iaitu hari ke sepuluh Muharam. Menurut ajaran Islam, apabila tiba 10 Muharam, umat Islam disunatkan berpuasa. Bahkan umat lain juga berpuasa termasuk Yahudi dan Nasrani.

Sunat berpuasa pada 10 Muharam adalah kerana meraikan terselamatnya tokoh-tokoh silam dalam perjuangannya. Antaranya ialah nabi Noh dan pengikutnya terselamat daripada banjir besar. Nabi Musa selamat daripada gangguan Firaun dan banyak lagi.

Bagaimanapun ajaran Islam itu tidak diamalkan oleh umat Islam di Negara ini, sebaliknya mereka membuat bubur asyura untuk makan pula. Inilah yang tidak kena pada kefahaman orang Melayu.
Islam tidak melarang memasak bubur asyura dan membedakkan kepada penduduk kampung, malah kerja baiknya akan beroleh pahala pula. Tapi alangkah baiknya jika mereka memasak bubur asyura itu dalam keadaan berpuasa. Sama seperti mereka mengacau dodol dalambulan puasa.

Mereka berpuasa dapat pahala sunat Asyura dan berbuka puasa dengan bubur asyura, dapat lagi pahala di sini. Inilah budaya baru yang seharusnya dilakukan oleh orang Melayu tentang bubur asyura itu.
Lahirnya bubur asyura itu konon mengikut kisah nabi noh dan pengikutnya meraikan kemenangan mereka dengan mengumpulkan segala saki baki makanan yang mereka bekalkan sebelum bertolak. Kemudian mereka masak bersama dan makan ala kadar. Betul atau tidak kisah itu bukan persoalannya, tapi yang pasti ia sudah menjadi adat dan budaya orang Melayu.

Friday, April 22, 2011

Tinggallah kenangan

Lama tidak mengemaskinikan blog ini disebabkan beberapa perkara yang tidak dapat dielakkan.Tumpuan kepada kerja harian, pantasnya masa tidak dapat ku kejar ditambah pula kini aku berpindah ke kawasan yang agak jauh dari mukim ini.

Jangkaan ku akan berpindah balik ke tempat asalku iaitu Scudai Johor Bahru. Sejak awal Januari desas desus mengatakan berlaku perpindahan ke JB. Persiapan sedikit-sedikit dilakukan untuk balik ke JB bagi memudahkan kerja-kerja ku, rupa-rupanya apa yang dijangkakan jauh tersasar dari apa yang diduga.
Perpindahan bermula 1hb April 2011 itu yang dimaklumkan.Kini aku menetap di tempat yang agak baru dalam hidupku iaitu antara 1 jam lebih perjalanan dari Johor Bahru.

Semua jawatan yang aku pegang telah aku lepaskan memandangkan aku kini tidak lagi menetap secara tetap di kawasan Segamat Aku melepaskan jawatanku sebagai AJK masjid dan jawatan Setiausaha Biro Pengimarahan Masjid.Jawatan sebagai Pegawai Masjid dimana aku di antara imam yang sering bertugas menggantikan Imam 1.  Aku berpindah ke satu kawasan yang tidak pernah aku fikirkan.Perpindahan secara berperingkat aku lakukan dan rasanya tidak perlu tergesa-gesa. Aku punya perniagaan di Segamat, aku rasa biarlah ianya diteruskan oleh pembantu yang telah sedia ada.

Hari terakhir aku membaca Khutbah di mimbar jumaat 15hb April 2011 bertajuk "Peranan masjid' moga-moga apa yang aku sampaikan itu merupakan satu nasihat kepada diri ini dan untuk hadirin jumaat pada hari itu akan kekal tersemat di hati mereka..insya Allah. Hari-hari mendatang imbasan silam akan menjelma lebih-lebih lagi bila bulan puasa pastinya, solat teraweh, tadarus, takbir hari raya dimana aku diantara pegawai masjid yang mengepalainya.Moga-moga pengganti yang dilantik mengganti tempat ku nanti pastinya lebih berilmu dan tinggi ketakwaannya serta istemewa dari diri ini  yang serba kekurangan dan masih memerlukan tunjuk ajar dari mereka yang berilmu.

Kenangan manis sepanjang di Segamat dapat mengkhatamkan bacaan Al-Quran secara bertalqi dengan mementingkan bacaan secara bertajwid. Kalangan pelajar di antaranya telah menjadi guru  Quran di kawasan-kawasan mereka. Di kalangan mereka juga ada yang meneruskan pengajian Quraan di Institusi yang lebih tinggi untuk hafazan dan ilmu soraff (bahasa Quraan).

Agak terkilan  terpaksa menyerahkan  pelajar( anak sahabat saya Lect UiTM)  yang belum tamat bacaan kepada guru Quraan yang lain , iaitu ibu saudara saya (tauliah mengajar Pj Agama Sgmt). Harapan saya apa yang dipelajari dapat dimunafatkan kepada masyarakat setempat dan beroleh keberkatan dari Ilahi.

Thursday, February 17, 2011

MAULID NABI

 


Maulid Nabi, Sunnah ker? biar betul?




Maulid sunnah? apa maksud Sunnah?

Sunnah dengan makna setiap yang datang dalam Al-Qur’an dan Hadits maka ia adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu adalah jalan yang dilalui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Tentang hal ini, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فمَن رغب عن سنَّتي فليس منِّي

Artinya: “Barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah termasuk umatku.” (HR. Bukhari [5063] dan Muslim [1401])


Sunnah dengan makna hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu segala hal yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat (baik fisik/moral), ketetapan dan perjalanan Nabi baik sebelum atau sesudah menjadi Nabi. Penggunaan ini dimaknai demikian ketika kata “sunnah” disebutkan bersamaan dengan kata “Al-Qur’an”. Dalilnya adalah sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud: “Aku tinggalkan kepada kamu dua perkara yang kamu tidak sekali-kali akan sesat selagi kamu berpegang teguh kepada keduanya: iaitu Kitab Allah dan sunnah Rasulullah s.a.w. ” (Al-Imam Malik)

Diriwayatkan dari 'Umar radiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:


لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم، إنما أنا عبد، فقولوا: عبد الله ورسوله

"Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah telah berlebih-lebihan memuji Isa putra maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah " Hamba dan Rasul Allah" (HR. Bukhari dan Muslim)



Para sarjana sejarahwan Islam berbeza pendapat tentang tarikh sebenar kelahiran Nabi s.a.w. Hadis Nabi s.a.w yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim hanya menyebut bahawa baginda lahir pada hari Isnin tanpa menyebut haribulannya. Sesiapa yang membaca karya-karya sejarah Islam yang besar seperti al-Bidayah wa al-Nihayah oleh al-Imam Ibn Kathir (meninggal 774H) akan melihat berbagai pendapat tentang haribulan dan bulan kelahiran baginda s.a.w.



Bagi yang berpendapat baginda lahir pada Bulan Rabi’ul Awwal, mereka berbeza pendapat pula dalam menentukan haribulannya. Ada yang menentukan pada 8 haribulan, ada yang pada 9 haribulan, ada pula pada 12 haribulan seperti yang menjadi anggapan ramai, ada juga pada 17 haribulan dan seumpamanya. Di samping di sana ada pula sarjana Islam yang menyatakan baginda lahir pada Bulan Ramadan dengan hujah-hujah mereka yang tersendiri.


Tarikh Maulid Nabi s.a.w. yang popular yang digunapakai oleh kebanyakan umat Islam 12 Rabiul Awwal. Sedangkan pendapat terkuat ialah 9 Rabiul Awwal. Tarikh 12 Rabiul Awwal adalah bersumber dari Syiah. Pendapat yang sahih dan kuat bagi tarikh kelahiran Baginda ialah pada hari Isnin, 9hb Rabiul Awwal Tahun Gajah.  Di antara ulama yang berpendapat sedemikian ialah Humaidi, Uqail, Yunus bin Yazid, Ibnu Abdillah, Ibnu Hazam, Muhammad bin Musa Al-Khuwarazmi, Abdul Khattab Ibnu Dihyah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Kathir, Ibnu Hajar dan Badruddin `Aini (TEKAN SINI)

Apa pun yang penting, sejarahwan Timur atau Barat, Utara atau Selatan tidak pernah berbelah pendapat tentang lahirnya seorang insan bernama Muhammad bin ‘Abdillah yang diikrarkan oleh umat Islam sebagai rasul terakhir yang diutuskan Allah. Hal ini berbeza dengan Jesus yang berada dalam gambaran Barat. Setengah ahli kajian mereka mempertikaikan tentang kelahiran Jesus itu sendiri.




Kelahiran Nabi s.a.w adalah peristiwa yang amat penting kerana ia peristiwa yang memulakan episod baru bagi kehidupan manusia sejagat. Penentuan haribulan atau bulan secara tepat bukanlah faktor utama. Tidak dapat menentukan tarikh lahir yang pasti, bukan bererti seseorang itu tidak wujud. Entah berapa ramai para nabi, tokoh, individu yang gagal dikesan tarikh kelahiran mereka, tetapi mereka wujud dan telah mewarnai sejarah.


Kegagalan sarjana untuk mengetahui hari dan bulan sebenar kelahiran Nabi s.a.w antaranya
berpunca daripada tindakan para sahabah Nabi s.a.w yang tidak merayakan tarikh tersebut. Walaupun dalam sejarah Islam, merekalah generasi yang paling mencintai Nabi s.a.w namun mereka tidak membuat perayaan khas hari kelahiran baginda disebabkan kerana mereka tidak melihat baginda melakukan hal yang demikian.


Bahkan Ibn Kathir menceritakan bagaimana Saidina ‘Umar apabila dicadangkan permulaan tahun Islam dikira pada tahun kelahiran Nabi s.a.w, beliau menolaknya. Sebaliknya khalifah agung itu memilih tahun hijrah baginda sebagai permulaan kiraan. Bukan kelahiran tidak penting, tetapi hijrah adalah permulaan kejayaan dan sejarah perjuangan. Perkara yang paling utama buat seorang rasul ialah baginda diikuti, bukan sekadar dirayakan. Saban tahun orang Kristian Barat merayakan kelahiran Jesus, namun apakah kehidupan mereka sama seperti yang diajar oleh Jesus?


Ramai pengkaji yang menyatakan bahawa tarikh sebenar maulid baginda ialah pada 9 Rabi’ul Awwal. Antara yang berpegang dengan tarikh ini al-Syeikh Safiyy al-Rahman al-Muabarakfuri iaitu penulis kitab Sirah terkenal Rahiq al-Makhtum. Di samping di sana ada beberapa tarikh lain yang disebut oleh pengkaji sejarah yang lain. Kegagalan untuk memberikan tarikh yang disepakati itu antaranya berpunca dari para sahabah, tabi’in dan tabi al-tabi’in atau disebut generasi salafus soleh tidak merayakan Maulid Nabi s.a.w.

Al-Imam Ibn Kathir (meninggal 774H) mencatatkan bahawa cadangan agar tarikh Maulid Nabi s.a.w dijadikan tarikh kiraan tahun Islam pernah dibuat kepada ‘Umar bin al-Khattab. Namun beliau tidak menerimanya.

Kata seorang pengkaji Sirah yang juga merupakan tokoh politik dan Ahli Parlimen Jordan, Dr Muhammad ‘Abd al-Qadir Abu Faris:

“Pada pendapat kami –Allah lebih mengetahui-, hikmah di sebalik penolakan Umar itu kerana beliau mempelajari dari Rasulullah s.a.w agar kita berbeza dengan Yahudi dan Kristian. Orang Kristian menentukan tarikh berdasarkan kelahiran Nabi Isa bin Maryam a.s. Mereka berlebihan dalam memuji dan membesarkan baginda sehingga sampai ke peringkat ketuhanan. Mereka kata: dia anak Allah, kadangkala “dia Allah” dan dia satu dari yang tiga.


Tujuan ‘Umar itu agar orang Islam tidak terjatuh seperti Kristian dalam berlebihan membesarkan Nabi s.a.w. Rasulullah s.a.w sendiri telah memberi amaran agar tidak berlebih-lebihan dalam memuji baginda. Sabda baginda:

“Jangan kamu memujiku berlebihan seperti Kristian berlebihan memuji Isa bin Maryam. Aku hanya seorang hamba Allah. Katakanlah: “Hamba Allah dan rasulNya” (al-Bukhari).


Maka Umar tidak menjadikan maulid Nabi s.a.w sebagai permulaan kalendar Islam untuk mengelakkan generasi kemudian menyeleweng” (Abu Faris, al-Hijrah al-Nabawiyyah, m.s 16, Jordan: Dar al-Furqan).


Inilah ulasan Dr Abu Faris dan pendapat ini dikongsi oleh ramai pengkaji yang lain.

Tanpa syak umat Islam berbangga dengan kedatangan Nabi s.a.w. Kelahiran yang membawa kebahagiaan dan rahmat kepada dunia sejagat. Cumanya, dalam proses mengelakkan persamaan di peringkat itu mereka tidak mengadakan sebarang perayaan khas. Bukan bererti mereka tidak menghargai. Sebaliknya generasi Salafussoleh merupakan zaman yang paling menghormati, mengikuti dan menghargai Nabi s.a.w.


Mereka terjemahkan itu semua dalam tindakan dan perbuatan mereka. Mereka mengamalkan sunnah baginda dan menegakkan prinsip-prinsip kebenaran yang ditegakkan oleh baginda. Hakikatnya, mereka merayakan pengutusan Nabi s.a.w sebagai rasul sepanjang hayat mereka. Namun apabila muncul zaman Kerajaan Syiah Fatimiyyah di Mesir, perayaan Maulid Nabi s.a.w secara besar-besaran diadakan. Sebab itu dalam Fatawa al-Azhar diakui bahawa ahli sejarahwan Islam tidak mengetahui sesiapa pun yang memulakan perayaan Maulid Nabi s.a.w melainkan Kerajaan Syi’ah Fatimiyyah di Mesir yang mengadakannya secara besar-besaran. Mereka turut meraikan hari kelahiran tokoh-tokoh Ahlil Bait dan kelahiran Nabi Isa a.s.

Kemudian pada tahun 488H dihentikan oleh Khalifah mereka al-Musta’la billah. Kemudian ia dihidupkan oleh beberapa pemerintah yang lain. Para ulama pula berbeza pendapat tentang hal ini. Ada yang membantah habis-habisan. Ada pula yang mengizinkan dengan bersyarat tidak mengadakan sebarang ibadah baru sempena Maulid, iaitu seperti solat Maulid, atau puasa maulid, atau seumpamanya. Sudah pasti mengingati maulid dengan mempelajari Sirah baginda, berdiskusi mengenainya dan mengingatkan tentang kepentingan menghayati perjuangan baginda, tidaklah salah.

Adapun Kerajaan Fatimiyyah, mereka mempunyai agenda politik yang tersendiri. Mereka ingin berkempen kepada kekuatan aliran syiah mereka. Beberapa pemimpin sunni kemudiannya mengadakannya juga atas berbagai tujuan yang lain. Ia berlangsungan dalam kebanyakan negara sehingga dibawa ke negara kita ini.

Hari berganti dan bertukar. Dunia Islam beralun dengan berbagai krisis politik yang akhirnya mencetuskan mazhab. Antaranya Mazhab Syiah yang asalnya merupakan mazhab politik, bertukar menjadi mazhab agama dengan segala macam aliran di dalamnya. Islam sepatutnya mencorakkan politik telah bertukar menjadi ‘politik mencorakkan Islam’. Lalu kefahaman agama dibina di atas blok-blok politik, bukan reka fikir politik itu diwarnakan oleh Islam. Maka perebutan kuasa berlaku atas agenda politik yang dimasukkan unsur Islam ke dalamnya. Maka berselerakanlah umat Islam akibat agenda politik berbagai aliran.


Di Mesir, Syiah Fatimiyyah pernah menguasai tampok kuasa. Berbagai agenda agama dilaksanakan dalam kerangka pemikiran mazhab politik yang bertukar menjadi agama. Berbagai perayaan agama dibuat dengan tujuan untuk mencapai matlamat politik yang tersendiri.


Dalam Fatawa al-Azhar diakui bahawa ahli sejarahwan Islam tidak mengetahui sesiapa pun yang memulakan perayaan Maulid Nabi s.a.w melainkan Kerajaan Syi’ah Fatimiyyah di Mesir yang mengadakannya secara besar-besaran. Mereka turut meraikan hari kelahiran tokoh-tokoh Ahlil Bait dan kelahiran Nabi Isa a.s. Kemudian pada tahun 488H dihentikan oleh Khalifah mereka al-Musta’la billah. Kemudian dihidupkan kembali oleh sesetengah kerajaan dan negeri. Demikianlah sejarahnya.


Ya, saya fikir, perasaan bersyukur mengenangkan sejarah kelahiran Nabi s.a.w dengan semangat untuk mengikuti baginda adalah wajar. Di samping kita perlu sedar fakta-fakta yang disebutkan tadi. Jika Bulan Rabi’ul Awwal ini dikatakan bulan kelahiran Nabi s.a.w, maka tidak salah untuk kita berceramah menceritakan sejarah perjuangan dan prinsip-prinsip Islam yang dibawa oleh baginda. Sama ada pada bulan ini atau selain. Sama seperti apabila kita melintas suatu tempat bersejarah, kita mengenang sejarah tersebut. Cuma janganlah kita ini menjadi manusia bermusim yang hanya mengenang rasul dan ajaran baginda pada hari-hari tertentu, tetapi kita seakan sudah tidak mengingati baginda selepas itu.

Di samping itu, hendaklah kita sedar, jika kita mengikuti Nabi s.a.w, maka pastikan kita tidak menokok tambah ajaran baginda apa yang baginda tidak izinkan. Baginda bersabda:


“Sesiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini (Islam) apa yang bukan daripadanya maka ia tertolak” (Riwayat Muslim).


Oleh kerana baginda tidak pernah menunjukkan kita ibadah khas sempena kelahiran baginda samada solat khas, atau puasa khas atau bacaan khas, maka kita tidak boleh mengadakannya. Jalan yang patut diikuti dalam masalah ini adalah jalan para sahabah baginda s.a.w. Sabda baginda s.a.w:


“..Sesungguhnya Bani Israil berpecah kepada 72 puak, dan umatku akan berpecah kepada 73 puak. Kesemua mereka dalam neraka kecuali satu puak”. Mereka bertanya: “Apakah puak itu wahai RasululLah?” Jawab baginda: “Apa yang aku dan para sahabahku berada di atasnya”. (Riwayat al-Tirmizi dinilai sahih oleh al-Diya al-Maqdisi).



Perlu diingat, antara keistimewanya sejarah Nabi s.a.w kerana ia dapat dikenal pasti antara yang tulen dan tokok tambah. Ini berbeza dengan sejarah pengasas-pengasas agama dalam dunia ini yang hampir keseluruhan sejarah mereka dibina atas sangkaan atau perkhabaran yang tidak pasti. Ilmu hadis yang menapis sanad dan matan telah memelihara fakta sejarah nabi kita Muhammad s.a.w. Hanya sejarah yang pasti sahaja yang menjadi ikutan kita, bukan yang direka.


Kata al-Sayyid Sulaiman al-Nadwi:


“Sesungguhnya sirah yang berhak diikuti oleh manusia sebagai contoh yang baik dan teladan yang tinggi disyaratkan terlebih dahulu mestilah bersifat tarikhiyyah (sejarah). Adapun sirah yang tertegak diatas dongengan dan cerita-cerita khurafat yang tidak disokong oleh riwayat-riwayat yang dipercayai kesahihannya, adalah menjadi tabiat insan tidak akan terpengaruh dengan apa yag diceritakan kepadanya tentang sirah peribadi yang direka sedangkan sejarah tidak pernah mengenalinya” (Sulaiman al-Nadwi, al-Risalah al-Muhammadiyyah, m.s. 41, Saudi: al-Dar al-Sa`udiyyah).


Buku Maulid al-Barzanji yang banyak dibaca dalam masyarakat kita ketika majlis kenduri-kendara atau selainnya mempunyai sumbangan yang tersendiri. Banyak sirah yang sahih dicatatkan oleh penulis karya tersebut iaitu Ja’far bin Hasan bin `Abd al-Karim al-Barzanji (meninggal 1187H). Namun satu hakikat yang diboleh dinafikan dari segi ilmu hadis bahawa terdapat fakta-fakta yang tidak sahih dalam buku al-Barzanji tersebut. Antaranya, beliau menyebut:


“Telah hadirlah pada malam kelahiran baginda (Nabi s.a.w.) Asiah (isteri Fir`aun yang beriman) dan Maryam (ibu Nabi Isa a.s.) dalam kumpulan wanita dari syurga)”.


Tiada satu riwayat yang sahih daripada Nabi s.a.w yang mengakui peristiwa seperti ini. Sehingga seorang pengkaji sejarah Muhammad Muhammad Hasan Syurrab menyebut:


“Wajib kita berhati-hati ketika memetik dari buku-buku sirah terutamanya buku-buku sirah yang terkemudian. Para rawinya (periwayat) banyak menokok tambah cerita dan sirah Rasulullah. Mereka mengaitkan kepada baginda mu’jizat dan perkara-perkara luar biasa sejak kelahiran sehingga kepada kewafatan baginda dengan perkara yang tidak ada sanad yang boleh dipegang. Seakan-akan para rawi ini melihat tujuan penambahan perkara-perkara luar biasa ini untuk memberikan kepada Rasul a.s. mu’jizat-mu’jizat yang tidak ada pada para nabi sebelum baginda (Muhammad Muhammad Hasan Syurrab, Fi Usul Tarikh al-`Arab al-Islami, m.s. 84, Damsyik, Dar al-Qalam).



Kita semua bersyukur dan bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Namun kita wajib pastikan cara kita ikut dan faham mengenai baginda. Saban tahun banyak pihak yang meraikan maulid, apakah umat Islam bertambah dekat dengan baginda?



"Ingatlah wahai umat Islam. Kita tidak disuruh menyambut kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Tiada dalil daripada al-Quran mahupun hadis untuk itu. Malah kelahiran Nabi s.a.w. tidak s.a.w. tidak disambut oleh para sahabat. Apa yang wajib ialah kita menjadi pengikut nabi Muhammad s.a.w. yang setia dan berpegang kepada ajarannya, beramal dengan sunnahnya dan mengikut sehingga hari kiamat."
"Orang seronok
dengan berarak, pakai kain songket, angkat sepanduk. Saya rimas tengok. Saya tak pernah
ikut sama berarak atas jalan.."