Tuesday, December 6, 2011

Serba-Serbi Bulan Muharram

Serba-Serbi Bulan Muharram



Hendaknya kita merasa cukup dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, dan sejelek-jelek perkara dalam agama adalah amalan ibadah baru yang diada-adakan.

Keutamaan Bulan Muharram

Bulan Muharram termasuk bulan yang disucikan Allah ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mensifati dan menisbatkannya kepada Allah dengan menamainya sebagai “syahrullah al muharram” (bulan Allah Al Muharram). Hal ini menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan ini di sisi Allah ta’ala, karena tidaklah Allah menggandengkan sesuatu dengan nama-Nya kecuali dengan makhluk-Nya yang istimewa.(Lathaiful Ma’arif hal 70, karya Ibnu Rajab Al Hambali)

Al Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah membuka tahun dengan bulan yang suci dan menutupnya dengan bulan yang suci pula. Dan tidaklah ada bulan dalam setahun yang lebih agung di sisi Allah setelah bulan Ramadhan kecuali bulan Muharram.” (Lathaiful Ma’arif hal 67, karya Ibnu Rajab Al Hambali)

Bulan Muharram merupakan bulan yang Allah utamakan. Sisi keutamaannya adalah bahwa berpuasa di bulan ini lebih utama daripada berpuasa di bulan yang lain selain bulan Ramadhan, sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alai wa sallam, “Puasa paling utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Al Muharram.” (HR. Muslim)

Adapun hadits yang menceritakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa apa yang paling utama setelah puasa Ramadhan, kemudian beliau menjawab, “Puasa pada bulan Sya’ban dalam rangka mengagungkan Ramadhan.” Kemudian beliau ditanya lagi tentang sedekah apa yang paling utama, kemudian beliau menjawab,”Sedekah di bulan Ramadhan.” Hadits tersebut adalah hadits yang mungkar begitu pula dengan hadits: “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Sya’ban.”

Imam An Nawawi berkata dalam kitab Al Adzkar,”Makruh hukumnya menamai bulan Muharram dengan Shafar karena hal tersebut merupakan kebiasaan jahiliyah.” (Al Adzkar hal.313, karya An Nawawi)

Ibnu ‘Allan mengatakan,” As Suyuthi berkata: Aku ditanya” Mengapa bulan Muharram dikhususkan dengan sebutan “Syahrullah Al Muharram” sedangkan bulan yang lain tidak. Padahal, ada bulan lain yang menyamai keutamaannya atau bahkan lebih utama darinya semisal Ramadhan?” Maka diantara jawaban yang aku temukan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa penamaan bulan Muharram dengan istilah Al Muharram adalah penamaan yang islami, berbeda dengan bulan selainnya di masa jahiliyah. Karena nama bulan Muharram di masa jahiliyah adalah “Shafar Al Awwal” (bulan Shafar yang pertama). Kemudian bulan setelahnya dinamakan “Shafar Ats Tsani” ( bulan shafar yang kedua). Ketika islam datang, maka Allah menamai bulan Muharram yang tadinya bernama “Shafar Al Awwal” menjadi “Al Muharram”, maka Allah kemudian menggandengkan nama bulan ini dengan namanya (sehingga menjadi: Syahrullah Al Muharram). Ini merupakan faidah yang sangat menarik dan berharga yang aku lihat dalam kitab Al Jamharah” (Al Futuhat Ar Rabaniyyah bi Syarhi Al Adzkaar An Nabawiyyah 7/100, karya Ibnu ‘Allan)

Diantara kekeliruan yang dilakukan banyak orang adalah menyebut bulan ini dengan lafadz “muharram” tanpa ada hurul alif dan lam di awalnya. Penyebutan yang benar adalah dengan lafadz “al muharram” karena orang arab tidaklah menyebut bulan ini kecuali dalam bentuk mu’arraf (mengandung huruf alif dan lam) dan demikian pulalah yang disebutkan dalam berbagai hadits yang mulia dan berbagai syair arab. (Tashwibul Mafaahim hal 75). Tidaklah huruf alif dan lam masuk dalam nama bulan kecuali untuk bulan Muharram.

Bulan Muharram dan Puasa Asyura’

Hari Asyura’ adalah hari kesepuluh di bulan Muharram menurut mayoritas ulama. Hari tersebut merupakan hari yang mulia, diberkahi, agung kedudukannya, dan memiliki keutamaan yang besar. Diantara keutamaan hari Asyura’ adalah:
1. Pada Hari Asyura’ Allah ta’ala Menyelamatkan Musa dan Bani Israil serta Menenggelamkan Fir’aun dan Pengikutnya.
Dari Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma , beliau mengatakan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah dan beliau menjumpai orang Yahudi dalm keadaan berpuasa pada hari Asyura’. Maka beliau bertanya kepada mereka, “Hari apa ini yang kalian berpuasa di dalamnya?” Mereka menjawab, ”Ini merupakan hari yang agung dimana Allah ta’ala menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan pengikutnya. Sehingga Musa berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk syukur, sehingga kami pun berpuasa sebagaimana beliau.” Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Kami lebih berhak terhadap Musa dari kalian.” Beliau pun berpuasa pada hari tersebut dan memerintahkannya.” (HR. Bukhari-Muslim)

2. Puasa di Hari Asyura’ Dapat Menghapus Dosa Setahun yang Lalu.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai puasa di hari Asyura’, “Aku berharap bisa menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim)

3. Puasa di Hari Asyura’ Merupakan Puasa yang Sangat Nabi Inginkan Keutamaannya Dibandingkan Hari yang Lain.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau ditanya tentang puasa di hari Asyura’, maka beliau menjawab, “ Tidaklah aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada satu hari yang sangat beliau inginkan mendapat keutamaannya dibandingkan hari yang lain kecuali hari ini – yaitu hari Asyura’-, dan bulan ini –yaitu Ramadhan-.” (HR. Bukhari-Muslim)

Disunnahkan untuk berpuasa di tanggal sembilan Muharram beserta tanggal sepuluhnya, karena hal ini merupakan keadaan akhir yang dilakukan Nabi ketika melakukan puasa Asyura’.

Diantara perbuatan yang keliru adalah berpuasa pada tanggal sembilan Muharram saja, sedangkan yang diajarkan dalam hadits shahih adalah berpuasa pada tanggal sepuluh saja atau pada tanggal sembilan dan sepuluh. Adapun menambahkannya dengan tanggal sebelas, maka sebagian ulama menilai bahwa hadits yang menyebutkan tanggal sebelas Muharram adalah hadits yang dha’if.

Beberapa Bid’ah Berkaitan Dengan Bulan Muharram

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, ”Tidak ada satu dalil pun yang shahih dalam syariat berkenaan dengan dzikir dan doa awal tahun, yaitu untuk awal hari atau malam memasuki bulan Muharram. Banyak orang yang membuat doa, dzikir, berbagai peringatan, saling mengucapkan selamat, berpuasa di hari pertama awal tahun, menghidupkan malam di hari pertama bulan Muharram dengan sholat, dzikir, doa, berpuasa di akhir tahun dan berbagai hal lainnya yang ternyata tidak ada dalilnya.” (Tas-hihudDu’aa’ hal.107-108, karya syaikh Bakr abu Zaid)

Berkaitan dengan ini, berikut ini adalah diantara bid’ah yang dilakukan di bulan Muharram:

1. Membuat Perayaan Masuknya Tahun Baru Hijriyah dan Saling Mengucapkan Selamat dengan Datangnya Tahun Baru.

Betapa merasa sakitnya seorang muslim ketika melihat jama’ah kaum muslimin, baik individu maupun masyarakatnya merayakan tahun baru hijriyyah sedangkan ketika merayakannya mereka lupa berdasar perintah siapa mereka merayakan perayaan tersebut. Apakah berdasar perintah Allah dalam Kitab-Nya? Ataukah berdasarkan perintah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah mereka melakukan demikian karena meneladani para sahabat radhiallahu ‘anhum? Sesungguhnya diantara kekeliruan yag sangat jelas adalah ketika kaum muslimin lebih memilih melakukan hal-hal yang tidak berdalil baik dari Al Qur’an maupun sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Peringatan Hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagian orang di zaman ini tidaklah mengetahui hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kecuali sebagai memoar yang dibacakan sekali tiap tahun dan diadakanlah berbagai perayaan, khutbah, dan berbagai ceramah keagamaan dalam jangka waktu beberapa hari kemudian selesai dan dilupakan sampai tiba tahun selanjutnya tanpa adanya pengaruh sedikitpun pada perilaku dan amalan mereka. Oleh karena itulah Anda jumpai sebagian mereka tidak berhijrah dari negeri musyrik ke negeri Islam sebagaimana hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebaliknya, banyak di antara mereka yang berpindah dari negeri Islam ke negeri musyrik bukan karena alasan apapun selain hanya untuk mencari kemewahan dan hidup di sana dengan kebebasan hewani -wal iyadzu billah-.

3. Mengkhususkan Hari Pertama di Awal Tahun dengan Berpuasa dengan Niat Membuka Tahun Baru Tersebut dengan Puasa.

Begitu pula mengkhususkan berpuasa selama sehari di hari terakhir tahun tersebut dengan niat sebagai ucapan selamat tinggal untuk tahun tersebut dengan berdalil menggunakan hadits palsu: “Barangsiapa yang berpuasa dihari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama di bulan Muharram, dia telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa, maka Allah akan menjadikannya sebagai penebus dosa baginya selama lima puluh tahun.”

4. Menghidupkan Malam Pertama di Bulan Muharram untuk Melakukan Ibadah.

Syaikh Abu Syamah mengatakan, ”Tidak ada satu pun dalil yang menuntunkan suatu amalan tertentu di malam pertama bulan Muharram. Aku telah mencari di berbagai riwayat baik yang shahih maupun yang dha’if dan dalam hadits-hadits maudhu’, tetapi tidak aku jumpai satu pun yang menyebutkan tentang hal tersebut.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal.239)

5. Mengkhususkan Awal Tahun Hijriyah untuk Melakukan Umrah Sebagaimana yang Dilakukan Sebagian Orang di Bulan Muharram.

6. Membuat Doa Khusus di Hari Pertama Tahun Baru yang Dinamakan dengan Doa Awal Tahun.

Semua hal tadi merupakan amalan yang tidak ada satu dalil shahih pun yang menuntunkan untuk melakukannya. Hendaknya kita merasa cukup dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, dan sejelek-jelek perkara dalam agama adalah amalan ibadah baru yang diada-adakan.

(Disarikan dari kitab “Lathaiful Ma’arif” karya Ibnu Rajab Al Hambali dan “Bida’ wa Akhtha’ Tata’allaqu bil Ayyaam Wa syuhur” karya Ahmad bin Abdullah As Sulami oleh Rizki Amipon Dasa)...........Serba-Serbi Bulan Muharram

Sebar Tauhid Perbaiki Aqidah

Monday, December 5, 2011

Solat Secara Berdiri atau Duduk Dalam Pesawat.

Berdiri dalam solat-solat fardhu yang lima adalah wajib dan kewajipan ini merupakan salah satu dari rukun solat yang tidak diperselisihkan lagi di kalangan mana-mana ulama' sepanjang zaman. Perintah jelas dari Allah Azza waJalla: Peliharalah kamu (kerjakanlah dengan tetap dan sempurna pada waktunya) segala sembahyang fardhu khasnya sembahyang wusta (sembahyang Asar) dan berdirilah kerana Allah (dalam sembahyang kamu) dengan taat dan khusyu'. [Maksud Surah al-Baqarah 2 - 238].
Kewajipan ini berkurang jikalau seseorang itu sukar melaksanakannya kerana sakit atau dalam suasana musafir yang sukar sepertimana yang akan diterangkan berikut ini. Akan tetapi jikalau seseorang itu sengaja solat tanpa berdiri tanpa sebarang keuzuran atau kesukaran maka solatnya itu adalah tidak sah kerana dia dikira sengaja meninggalkan salah satu dari rukun wajib solat. Huraian bab ini dimulakan dengan kaedah solat dalam suasana sakit atau uzur kerana hubung-kaitnya yang kuat dengan kaedah solat dalam suasana musafir.

Kaedah solat bagi kesakitan fizikal tubuh badan.

Seseorang yang sakit dan tidak dapat berdiri maka dibolehkan dia bersolat secara duduk dan jikalau masih tidak boleh duduk maka dibolehkan dia bersolat secara berbaring di lambung kanan dan jikalau masih tidak mampu maka dibolehkan dia bersolat dengan berbaring menelentang. Apajua kesukarannya kewajipan solat tetap wujud atas dirinya dan dia tetap wajib melaksanakannya. Solat yang didirikan secara duduk atau berbaring jikalau benar-benar tidak mampu adalah dikira sah dan tidak perlu diulangi.
Pernah di satu ketika Imran bin Hushain radiallahu-anhu menderita sakit buasir (haemorrhois) yang berat lalu dia bertanya kepada Nabi sallallahu-alaihi-wasallam mengenai cara solatnya maka beliau bersabda: Solatlah dengan berdiri, kalau tidak kuat maka duduklah , kalau (masih) tidak kuat maka berbaringlah dengan posisi miring.[1] Kaedah pendirian solat fardhu seseorang itu adalah selari dengan kadar kesakitan yang dihadapinya. Jikalau dia tidak boleh berdiri maka duduklah kemudian rukuk dan sujud seperti biasa. Cara duduk sebaiknya ialah dengan bersila, sebagaimana keterangan A'isyah radiallahu-anhu selaku isteri Nabi sallallahu-alaihi-wasallam dalam hadith berikut: Aku melihat Nabi sallallahu-alaihi-wasallam solat sambil duduk bersila (mutarobbi')[2] Jikalau boleh berdiri tetapi tidak boleh membongkok maka berdirilah seperti biasa manakala rukuk dan sujud adalah memadai dengan isyarat semampu. Jikalau tidak boleh berdiri dan tidak boleh membongkok maka solatlah dengan duduk, rukuk dan sujud diisyaratkan dengan pergerakkan kepala. Ajar Nabi sallallahu-alaihi-wasallam: Jikalau mampu bersujudlah di atas tanah dan jikalau tidak mampu maka berisyaratlah dengan jelas dan jadikanlah sujud-mu lebih rendah dari rukuk-mu.[3] Jikalau tidak mampu juga maka berbaringlah secara miring iaitu berbaring di lambung kanan dengan mukanya menghadap ke arah qiblat, demikian penerangan Ali bin Abi Talib radiallahu-anhu [4] dan demikian juga merupakan pendapat pilihan Mazhab Shafie, Maliki, Hanbali dan lain-lain.[5] Jikalau masih tidak mampu maka berbaringlah menelentang dengan muka menghadap langit, rukuk dan sujudnya adalah dengan isyarat mata manakala mulut dan hati tetap khusyu' dengan bacaan-bacaan solat. Walauapapun keuzuran yang dihadapi, kewajipan solatnya tetap hadir selagi akal masih ada dan sedar. Solat sebegini tetap sah dan tidak perlu diulangi.[6]
Akan tetapi jikalau sakitnya itu ada minimal dan masih membolehkan solat seperti biasa maka hendaklah dia berusaha berdiri seperti biasa. Anas bin Malik radiallahu-anhu meriwayatkan hadith berikut: Ketika Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam memasuki kota Madinah, kota ini telah diserang wabak dan orang-orang pun menjadi sakit. Lalu beliau masuk ke dalam masjid dan di saat itu orang sedang solat duduk. Melihat itu beliau bersabda: "Solat orang yang duduk pahalanya setengah dari solat orang yang berdiri." Mendengar itu orang-orang pun segera berdiri untuk (meneruskan) solat.[7] Perbandingan antara dua hadith di atas menunjukkan bahawa bersolat sambil duduk atau berbaring itu bagi yang sakit adalah dibenarkan tetapi yang sebaik-baiknya adalah dilaksanakan secara berdiri sesempurna mungkin.[8] Justeru itulah kita dapati Nabi sallallahu-alaihi-wasallam walau di kala usianya yang sudah lanjut tetap berusaha untuk melaksanakan solatnya secara berdiri sekalipun dengan menggunakan tongkat atau bersandar pada dinding atau tiang. Hanya di ketika beberapa hari sebelum kewafatannya barulah beliau bersolat secara duduk. Ummu Qays binti Mihshan radiallahu-anha menerangkan: Bahawa Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam setelah beliau uzur dan kegemukan, beliau membuat sebuah tiang di tempat solatnya untuk dijadikan tempat bersandar.[9]
Keterangan dalam kaedah solat dalam suasana sakit ini sengaja dihuraikan secara panjang lebar kerana tiga sebab - pertama supaya orang yang terlantar di hospital tidak mudah mengabaikan solatnya, kedua - bagi menunjukkan bolehnya bergabung dua atau lebih keuzuran dalam satu suasana, seperti uzur berdiri bagi solat dan uzur menghadap qiblat dan - ketiga kerana ia berkait rapat dengan kaedah solat di atas kenderaan atau pesawat terbang.

Kaedah solat dalam pesawat terbang.

Dibolehkan solat dalam kenderaan samada kereta, teksi, bas ekspres, perahu, kapal selam, kapal terbang dan apa jua medium pengangkutan. Dalil yang membolehkan ialah hadith berikut daripada Abdullah ibnu Umar radiallahu-anhu di mana telah bertanya seorang sahabat kepada Nabi sallallahu-alaihi-wasallam: Bagaimanakah cara saya bersolat dalam perahu ? Nabi sallallahu-alaihi-wasallam menjawab: Bersolatlah di dalamnya dengan berdiri kecuali jika engkau takut tenggelam.[10] Hadith di atas adalah sebagai dalil bolehnya bersolat di atas kenderaan tidak kira apa jenis kenderaan itu kerana pelajaran hadith (illat) bukanlah berkenaan hukum perahu tetapi ialah kebolehan perlaksanaan solat di atas kenderaan.[11]
Jikalau solat secara berdiri di atas kenderaan adalah berbahaya atau menyukarkan maka boleh bersolat secara duduk, diteladani dari perbuatan Nabi sallallahu-alaihi-wasallam dan para sahabat yang pernah bersolat secara duduk di atas kenderaan tunggangan mereka. Kesukaran yang dihadapi itu tidaklah sampai ke tahap darurat tetapi adalah memadai dengan sesuatu yang memberatkan. Hadith berikut menerangkan Nabi sallallahu-alaihi-wasallam dan sahabatnya pernah solat di atas tunggangan mereka bagi mengelak dari terperangkap dalam cuaca hujan lebat - Ya'la bin Murrah radiallahu-anhu menerangkan bahawa para sahabat pernah beserta Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam dalam satu perjalanan lalu sampai ke satu lembah sedang beliau berada di atas kenderaannya; dan langit pula sangat mendung dan di bawahnya sangat basah.
Kemudian datang waktu solat lalu beliau memanggil tukang muadzzinnya lalu ia azan dan iqamah lantas Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam terus maju dengan kenderaannya dan solat berjamaah bersama mereka (para sahabat). Beliau memberi isyarat yang sujudnya lebih rendh dari rukuknya.[12]
Dua hadith di atas jelas membolehkan solat-solat fardhu dilaksanakan di atas kenderaan dan jikalau seseorang itu menghadapi suasana kesukaran maka boleh dilaksanakan secara duduk. Demikianlah teladan yang diriwayatkan dari para sahabat seperti Anas bin Malik, Jabir, Tawus, Zaid dan lain-lain, radiallahu-anhum.[13] Solat sebegini adalah tetap sah jikalau kesukarannya itu adalah benar-benar ikhlas dan ia tidak perlu diulangi. Akan tetapi jikalau tidak menghadapi kesukaran dan dia bersolat secara duduk di atas kenderaan maka solatnya itu adalah tidak sah kerana dianggap sengaja mengabai serta meremehkan rukun kewajipan solat. Demikian menurut ijma' para fuqaha Mazhab Shafie, Maliki, Hanbali dan lain-lain.[14]
Imam an-Nawawi mensyarahkan: Menurut pendapat mazhab kami (Mazhab Shafie), apabila seseorang bersolat fardhu di dalam kapal maka tidak boleh baginya mengerjakan solat dengan duduk selama sanggup berdiri. Diserupakan orang itu dengan keadaan di darat. Demikianlah juga pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, boleh dikerjakan dengan duduk kalau kapal itu sedang bergerak.
Menurut pendapat ulama'-ulama' Mazhab Shafie jika orang yang sedang solat itu sedang kepeningan (mabuk laut) umpamanya maka bolehlah dia mengerjakan solat fardhunya sambil duduk kerana dia di pandang sebagai tidak upaya berdiri. Dan jika angin bertiup dan beralih haluan kapal lalu beralih juga mukanya dari arah qiblat wajiblah dia memutarkan badannya ke arah qiblat itu dan terus mengerjakan solat.[15]
Kaedah menunaikan solat fardhu di atas pesawat terbang adalah sama dengan kaedah solat di darat. Hanya apabila timbul kesukaran maka kesempurnaan gerak laku solat itu berkurangan selari dengan kadar kesukaran yang dihadapi. Ia mempunyai kesamaan dengan kaedah solat orang yang sakit dalam beberapa keadaan dan berbeza pula dalam beberapa keadaan lain, iaitu:
1. Hendaklah berusaha sekuat mampu bagi mencari tempat untuk bersolat dengan sempurna. Bertanyalah kepada anak kapal akan ruang sebaiknya untuk bersolat dan jikalau ruang itu digunakan oleh mereka dalam kesibukan kerja-kerja kabin maka tunggulah hingga kerja mereka berkurang atau selesai. Satu alternatif lain ialah memilih penerbangan dengan syarikat Muslim kerana anak-anak kapalnya akan lebih memahami kehendak kita dan berusaha menolong berbanding dengan syarikat penerbangan non muslim.
2. Jikalau sedang solat dan pesawat bergoyang sedikit maka dibolehkan berpegang atau bersandar sebentar kepada dinding atau kerusi bagi mengimbangkan diri, mengingatkan kepada sunnah Nabi sallallahu-alaihi-wasallam yang solat dengan bersandarkan tiang di kala umurnya sudah lanjut.
3. Jikalau pesawat banyak bergoyang sehingga membimbangkan maka dibolehkan solat duduk dengan rukuk secara membongkok dan sujudnya seperti biasa hingga ke lantai pesawat. Jikalau sedang bersolat secara berdiri dan dipertengahannya pesawat mula bergoyang maka teruslah solat dengan duduk sehingga habis tanpa perlu dimulakan semula.
4. Jikalau goyangan pesawat adalah keterlaluan hingga terbitnya tanda 'Pasang tali pinggang keselamatan' atau 'Fasten seat belt' maka sebaiknya ialah duduk dahulu dan bersolatlah kemudian apabila suasana kembali tenang. Memaksa diri beribadat sehingga mendatangkan kecederaan bukanlah sesuatu yang dicenderungi agama malah akan dipertangunggkan jikalau kecederaannya itu menyebabkan dia tidak dapat meneruskan ibadah yang lain, meninggalkan amanah tanggungan dan menyusahkan pula orang lain. Jikalau goyangan pesawat berlanjutan sehingga dijangka akan melewati waktu solat (contohnya solat subuh) maka laksanakanlah ia secara duduk di kerusi sendiri.
5. Jikalau tiada tempat untuk solat maka tetaplah bersolat ditempat duduk sendiri dan solatlah dengan sujudnya ditunduk lebih rendah dari rukuk. Perintah menghadap qiblat tetap hadir sebagaimana yang diterangkan sebelum ini.
Jikalau terdapat dua pilihan, satunya ialah boleh menghadap ke arah qiblat tetapi solatnya harus secara duduk manakala yang kedua ialah boleh solat secara sempurna tetapi tidak dapat menghadap qiblat melainkan di takbir yang pertama maka hendaklah dia mengutamakan solat menghadap qiblat sekalipun secara duduk kerana solat secara duduk sememangnya dibolehkan oleh nas yang jelas di kala kesukaran manakala solat tanpa menghadap qiblat dengan sempurna adalah satu kebolehan yang diijtihadkan. Sila ulangkaji dan bandingkan huraian antara bab ini dengan bab sebelum.
Jikalau terdapat dua pilihan di mana kedua-duanya boleh didirikan solat secara sempurna, pilihan pertama ialah solat di atas pesawat manakala pilihan kedua ialah solat di atas darat maka kedua-duanya mempunyai keutamaan yang sama tarafnya. Dalilnya ialah riwayat berikut: Abdullah bin Abi Utbah radiallahu-anhu menerangkan - Aku pernah menyertai Jabir bin Abdillah, Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah radiallahu-anhu dalam satu kapal. Maka mereka bersolat secara berdiri berjamaah, yang seorang mengimami yang lain padahal mereka sanggup mendarat di pantai.[16] Akan tetapi hendaklah diutamakan suasana yang memungkinkan solat itu didirikan di awal waktu mengingatkan keafdalannya dan tambahan lagi mungkin sahaja solat yang tangguhkan itu akan terhalang oleh sesuatu yang tidak dijangka.
Sekali lagi dinyatakan bahawa seseorang itu wajib berlaku benar dalam kaedah penunaian solatnya samada berdiri atau duduk, samada di ruang terbuka atau di kerusi asal. Tidak sah solat orang yang sengaja hendak solat secara duduk atau sengaja enggan mencari suasana yang memungkinkan solatnya menjadi sempurna. Jikalau semua alternatif dan usaha telah dilakukan maka hendaklah dia tetap melaksanakan solatnya itu dalam cara yang termampu dan ia tetap dikira sah tanpa perlu diulangi atau diqadha.

Kesimpulan

1. Solat di atas pesawat terbang atau apa-apa jua medium pengangkutan adalah dibolehkan.
2. Perlaksanaan solat di atas pesawat adalah tetap wajib seperti kaedah yang biasa kecuali jikalau menghadapi kesukaran maka dibolehkan duduk dan sebagainya selari dengan kadar kesukaran yang dihadapi.
3. Solat sebegini adalah sah dan tidak perlu diulangi.
4. Sementara itu tidak sah solat secara duduk jikalau tiada kesulitan untuk melaksanakannya secara berdiri. Malah dia dikira berdosa kerana sengaja meremehkan perintah agama.